Tidakkah kita setuju jika dikatakan bahwa (seharusnya) salah satu keinginan seorang muslim yang utama dalam hidupnya adalah ingin agar dirinya dapat menjadi seorang muslim yang baik, penuh ketaqwaan kepada Allah, yang menjalani kehidupan ini dengan baik, selamat, hati yang tenang dan damai, dan dijauhkan dari perbuatan yang buruk ?
Tidakkah kita juga setuju jika dikatakan bahwa semua itu adalah perkara2 yang ada di tangan Allah sebab tidaklah semua itu ada pada diri seseorang melainkan semuanya hanyalah karena hidayah dari Allah, karena ketaqwaan yang Allah berikan kepadanya, karena keburukan2 telah Allah hindarkan darinya, dan karena kekayaan yang Allah karuniakan kedalam hatinya, serta tidaklah ada satupun yang bisa menganugerahkan semua itu kepada seseorang kecuali hanya Allah saja?
Tidakkah kita juga setuju jika dikatakan bahwa semua itu adalah perkara2 yang ada di tangan Allah sebab tidaklah semua itu ada pada diri seseorang melainkan semuanya hanyalah karena hidayah dari Allah, karena ketaqwaan yang Allah berikan kepadanya, karena keburukan2 telah Allah hindarkan darinya, dan karena kekayaan yang Allah karuniakan kedalam hatinya, serta tidaklah ada satupun yang bisa menganugerahkan semua itu kepada seseorang kecuali hanya Allah saja?
Berkenaan dengan hal ini, maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan suatu do’a yang sangat baik kepada umatnya sebagaimana telah diriwayatkan oleh imam Muslim rahimahullah dari haditsnya ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu bahwa :
النبي صلى الله عليه و سلم أنه كان يقول اللهم إني أسألك الهدى والتقى والعفاف والغنى
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau biasa berdo’a : “Allaahumma innii as-alukal-hudaa wat-tuqaa wal-‘afaafa wal-ghinaa.”
(Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu hidayah (petunjuk), ketaqwaan, dihindarkan dari perbuatan yang buruk, serta memohon kepada-Mu kekayaan hati.”)
(Shahih Muslim 4/2087 no.2721)
Ini adalah salah satu doa yang ringkas tapi sangat agung yang diajarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mencakup 4 perkara besar dari perkara2 dunia dan akhirat, dan do’a ini menjadi salah satu do’a yang seringkali diucapkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun al-Huda (hidayah atau petunjuk) di sini, maka ia bisa bermakna ilmu atau pengetahuan tentang mana yang hak dan mana yang bathil, dan juga mengetahui apa2 yang dikehendaki oleh Allah.
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan :
((الهدى)) هنا بمعنى العلم، والنبي صلى الله عليه وسلم محتاج إلى العلم كغيره من الناس، لأن الله سبحانه وتعالى قال له: ﴿وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْماً﴾[طـه:114].وقال الله له:﴿وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيماً﴾[النساء:113]، فهو عليه الصلاة والسلام محتاج إلى العلم، فيسأل الله الهدى. والهدى إذا ذُكر وحده يشمل العلم والتوفيق للحق، أما إذا قُرن معه ما يدل على التوفيق للحق فإنه يُفَسَّر بمعنى العلم
“Al-Huda di sini bermakna ilmu, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membutuhkan ilmu sebagaimana manusia2 lainnya, sebab Allah ta’ala telah berfirman : “Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.", dan juga firman-Nya : “Dan Allah telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.”
Demikianlah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga membutuhkan ilmu, sehingga beliau-pun meminta al-huda kepada Allah. Adapun Al-huda ini apabila disebutkan secara sendiri, mengandung makna ilmu dan taufiq kepada al-haq (kebenaran). Sedangkan jika ia dibarengi dengan sesuatu yang menunjukan makna taufiq kepada al-haq, maka al-huda ini ditafsirkan dengan ilmu.”
(Syarh Riyadhush-Shalihin 1/528)
Dengan meminta hidayah kepada Allah, berarti seseorang itu meminta kepada Allah agar dibimbing untuk mengetahui keyakinan2 yang baik, amal2 yang shalih dan ucapan serta akhlak yang baik dalam menghadapi berbagai masalah dunia dan akhirat.
Sedangkan at-Tuqaa (ketaqwaan), maka ia bermakna mengamalkan apa2 yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa2 yang dilarang-Nya, sehingga dengan ketaqwaan inilah dia membatasi antara dirinya dengan siksa Allah.
Al-‘Afaafu, maka maknanya adalah terhindar dan menahan diri dari perbuatan2 yang tidak diperbolehkan atau diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :
أما ( العفاف والعفة ) فهو : التنزه عما لا يباح ، والكف عنه
“Al-‘Afaafu dan juga Al-‘Iffah maksudnya adalah terhindar dari apa2 yang tidak diperbolehkan dan menahan diri dari hal2 tersebut.”
(Al-Minhaj 17/64)
Syaikh Al-‘Utsamin rahimahullah mengatakan :
((العفاف)) فالمراد به أن يَمُنَّ الله عليه بالعفاف والعفة عن كل ما حرم الله عليه
“Al-‘Afaafu maka maksudnya adalah karunia Allah kepada seseorang dengan menjauhkannya dari segala apa yang diharamkan oleh Allah kepadanya.”
(Syarh Riyadhush-Shalihin 1/528)
Dan Al-Ghina, maka maksudnya adalah kekayaan hati sehingga merasa cukup atas apa2 yang Allah berikan kepadanya, baik yang diberikan oleh Allah itu sedikit ataupun banyak, serta tidak menginginkan apa2 yang dimiliki oleh orang lain, entah itu harta kekayaan, kemuliaan, kedudukan, ketampanan/kecantikan, popularitas ataupun hal2 lainnya.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :
( والغنى ) هنا غنى النفس ، والاستغناء عن الناس ، وعما في أيديهم
“Al-Ghina di sini maksudnya adalah kaya jiwa, dan merasa cukup terhadap manusia beserta apa2 yang mereka miliki.”
(Al-Minhaj 17/64)
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan :
وأما ((الغِنى)) فالمراد به الغنى عما سوى الله، أي: الغنى عن الخلق، بحيث لا يفتقر الإنسان إلى أحد سوى ربه عز وجل. والإنسان إذا وفّضقه الله ومنَّ عليه بالاستغناء عن الخَلْقِ، صار عزيز النفس غير ذليل، لأن الحاجة إلى الخلق ذُلٌ ومَهَانة، والحاجة إلى الله تعالى عِزٌّ وعبادة، فهو عليه الصلاة والسلام يسأل الله عز وجل الغنى
“Adapun al-ghina, maka yang dimaksud dengan al-ghina ini adalah merasa cukup terhadap selain Allah, yakni merasa cukup terhadap makhluk, dan seseorang itu tidaklah merasa faqir terhadap seorangpun selain kepada Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.”
(Syarh Riyadhush-Shalihin 1/529)
Jika seseorang menginginkan agar dirinya dapat menjadi seorang muslim yang baik, penuh ketaqwaan kepada Allah, yang menjalani kehidupan ini dengan baik, selamat, damai hatinya, dan terhindar dari perbuatan yang buruk, maka mintalah hanya kepada Allah dan bukan kepada yang lain, dan berdo’alah sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ajarkan kepada kita.
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan :
فينبغي لنا أن نقتدي بالرسول عليه الصلاة والسلام في هذا الدعاء، وأن نسأل الله الهدى والتُقى والعفافَ والغنى
“Maka, sudah menjadi satu keharusan bagi kita untuk mengikuti jejak Rasulullah ‘alaihi shalatu wa sallam dalam do’a ini, dan kita minta kepada Allah al-huda (petunjuk), at-tuqaa (ketaqwaan), al-‘afaafu (dihindarkan dari perbuatan yang buruk) dan al-ghina (kekayaan hati).”
(Syarh Riyadhush-Shalihin 1/529)
Maka, katakanlah :
“Allaahumma innii as-alukal-hudaa wat-tuqaa wal-‘afaafa wal-ghinaa.”
(Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu hidayah (petunjuk), ketaqwaan, dihindarkan dari perbuatan yang buruk, serta memohon kepada-Mu kekayaan hati.”)
Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita dan memberikan kepada kita apa2 yang kita minta untuk kebaikan di dunia ini dan di akhirat nanti.
Amin ya Allah.
Wallaahu a’lam.
Assalamu'alaikum wr wb
BalasHapusMakasih utk ilmunya ya Ustdz,,,
Dan mohon ijinnya utk mengamalkannya