Senin, 17 Desember 2012

Mulianya Kejujuran, Hinanya Kedustaan

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
 
Salah satu akhlak yang utama dan mulia dari Rasulullah shallallaahu adalah kejujuran dan salah satu akhlak tercela yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah berdusta.

Tentang kejujuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang2 Quraisy penduduk Mekkah pada masa2 awal kenabian, beliau bersabda kepada mereka :

أَرَأَيْتَكُمْ لَوْ أَخْبَرْتُكُمْ أَنَّ خَيْلًا بِالْوَادِي تُرِيدُ أَنْ تُغِيرَ عَلَيْكُمْ أَكُنْتُمْ مُصَدِّقِيَّ قَالُوا نَعَمْ مَا جَرَّبْنَا عَلَيْكَ إِلَّا صِدْقًا
“Apa pendapat kalian jika aku kabarkan kepada kalian tentang adanya pasukan berkuda musuh yang ada di balik lembah ini yang akan menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?”
Maka orang2 Quraisy menjawab : “Ya (kami percaya), sebab kami tidak pernah mendengar darimu melainkan kebenaran.”
(Shahih al-Bukhari 6/111 no.4770)


Lihatlah, betapa orang2 Quraisy Mekkah begitu mempercayai Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan kejujuran beliau dan mereka mengatakan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah mengatakan sesuatu kepada mereka melainkan mereka percaya bahwa apa yang dikatakan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu adalah perkataan yang benar dan jujur adanya.

Dalam satu riwayat lainnya, imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda pada perang Hunain :
أَنَا النَّبِيُّ لَا كَذِبْ أَنَا ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبْ
“Aku adalah seorang Nabi yang tidak pernah berdusta, dan aku adalah putera ‘Abdul Muthalib.”
(Shahih al-Bukhari 4/31 no.2864)

Adapun tentang celaan untuk seseorang yang pendusta, maka telah masyhur dalam hadits yang shahih bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا ائتمن خان
“Tanda2 orang munafik itu ada 3, (yaitu) apabila dia berbicara, maka dia berdusta, apabila dia berjanji dia mengingkari, dan apabila dia diberi amanat dia berkhianat.”
(Shahih Muslim 1/78 no. 59)

Sungguh kejujuran dan kedustaan ini, maka keduanya adalah bagaikan dua mata uang yang saling berdampingan.
Ya, sebab pada dasarnya, seseorang itu dalam setiap perkataan yang dia ucapkan secara sadar (atau tuliskan secara sadar di forum2, di berbagai artikel internet, di berbagai chat dan sebagainya), baik kata2nya itu sedikit ataupun banyak, maka ia senantiasa berada diantara dua hal, yaitu diantara kedustaan dan kejujuran.
Seperti saat seorang ibu atau seorang ayah mengatakan sesuatu kepada anaknya, dan begitupula saat seorang anak mengatakan sesuatu kepada ibunya, maka itu tidak akan keluar dari salah satu diantara dua hal, yaitu bahwa kata2 yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang jujur, atau kata2 yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang dusta.

Saat seorang kakak mengatakan sesuatu kepada adiknya, dan begitupula sebaliknya, maka itu tidak akan keluar dari salah satu diantara dua hal, yaitu bahwa kata2 yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang jujur, atau kata2 yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang dusta.
Begitupula saat seorang suami mengatakan sesuatu kepada istrinya, atau sebaliknya, maka itupun tidak akan keluar dari salah satu diantara dua hal, yaitu bahwa kata2 yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang jujur, atau kata2 yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang dusta.
Atau saat seseorang mengatakan sesuatu kepada tetangganya, temannya dan orang2 lainnya, maka semua itu tidak akan keluar dari salah satu diantara dua hal, yaitu bahwa kata2 yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang jujur, atau kata2 yang diucapkannya itu adalah sesuatu yang dusta.

Maka, jika saja saat itu seseorang memilih kejujuran dalam perkataannya –walau sekecil apapun perkataannya-, maka niscaya kejujurannya itu dapat membawanya kepada kebaikan dan tiadalah balasan bagi kebaikan itu melainkan balasan yang baik pula di dunia dan di akhirat.
Tapi jika ia memilih kedustaan dalam perkataannya –walau sekecil apapun-, maka se-akan2 ia adalah orang yang tidak merasa takut jika kedustaannya itu akan membawanya kepada kejahatan, sedangkan tiadalah ancaman balasan bagi kejahatan itu melainkan kejahatan yang setimpal dan yang lebih buruknya lagi…….adalah neraka. Na’uudzubillah.

Sungguh, saat seseorang hendak mengucapkan sesuatu atau menuliskan sesuatu, maka saat itu se-akan2 ia sedang berada di suatu persimpangan yang didepannya terpentang dua jalan, yaitu jalan kedustaan yang menuju kepada keburukan dan jalan kejujuran yang menuju kepada kebaikan.
Berkenaan dengan hal ini, Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari ‘Abdullah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
“Kalian harus berlaku jujur sebab sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan pada kebaikan, dan kebaikan itu akan menunjukan ke surga.
Seseorang yang senantiasa berkata jujur dan memelihara kejujuran itu, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur.
Dan hindarilah berdusta sebab sesungguhnya kedustaan akan menunjukan pada kejahatan, dan kejahatan akan menunjukan ke neraka.
Seseorang yang senantiasa berkata dusta dan memelihara kedustaannya, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.”
(Shahih Muslim 4/2012 no. 2607)

Lalu manakah yang akan ia tempuh saat ia akan mengatakan sesuatu atau menulis sesuatu?
Jalan manakah yang akan ia ambil ketika ia hendak mengucapkan sesuatu atau menulis sesuatu?
Adapun bagi seorang muslim, bagi seorang hamba Allah, bagi umatnya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka jawabannya adalah jelas, yaitu jalan kejujuran. 
Di manapun dan kapanpun.

Ya, sependek apapun perkataan kita, dan seringkas apapun yang kita tulis, maka tidakkah kita semuanya setuju jika pilihannya adalah tetap, yaitu kejujuran?
So, tidakkah kita mau untuk senantiasa berkata jujur dan menjaga lisan2 kita dari perkataan2 dusta?
Bukankah kita tidak ingin jika kita menjadi termasuk kepada salah seorang yang disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
يُشَقُّ شِدْقُهُ فَكَذَّابٌ يَكْذِبُ بِالْكَذْبَةِ تُحْمَلُ عَنْهُ حَتَّى تَبْلُغَ الْآفَاقَ فَيُصْنَعُ بِهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“…..Seseorang yang di robek-robek mulutnya adalah seorang pendusta yang berdusta dengan perkataan dustanya yang ia bawa-bawa kedustaan itu sampai ke ufuq……”
(Shahih al-Bukhari 8/25 no. 6096)
Na’uudzubillah.

Dengan taufik dari Allah, maka semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba2-Nya yang senantiasa berada dalam kejujuran dan menjauhi kedustaan.
Dengan taufik dari Allah, maka semoga Allah menjadikan kita senantiasa menjaga kejujuran itu kapanpun di manapun dan dengan itu semoga Allah merahmati kita semua.
Amin ya Allah.
Wallaahu a’lam.

1 komentar:

  1. Artikel yang bagus :)
    berbuat jujur sangat baik dan bagus, dan pasti akan selalu di percaya seseorang

    Tapi sayang di zaman sekarang banyak yang tidak jujur

    BalasHapus