Jumat, 31 Mei 2013

Tentang Hadits Dari Para Perawi Ahli Bid'ah

Pada tataran kajian al-jarh dan at-ta'dil para ulama hadits, khususnya dari kalangan mutaqadimin ditetapkan bahwa kebid'ahan seorang ahli bid'ah disisi beliau semua rahimahullah itu adalah bertingkat-tingkat. Ada yang berat sampai meng-kafir-kan pelakunya, ada yang hanya menjadikan fasik, dan ada yang ringan.
Adapun, berkenaan dengan riwayat-riwayat hadits yang berasal dari perawi ahli bid'ah tersebut, adalah hal yang baik bagi kita untuk mengetahui penyikapan para ulama ini atas periwayatan hadits dari para perawi ahli bid'ah ini, diantaranya :

Pertama : Kehati-hatian terhadap riwayat dari perawi seperti itu

Imam Muslim rahimahullah mengatakan :
اعلم وفقك الله تعالى أن الواجب على كل احد عرف التمييز بين صحيح الروايات وسقيمها وثقات الناقلين لها من المتهمين أن لا يروى منها الا ما عرف صحة مخارجه والستارة في ناقليه وأن يتقى منها ما كان عن أهل التهم والمعاندين من أهل البدع 
“Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufik kepadamu, bahwasannya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui perbedaan diantara riwayat yang shahih dan yang tidak shahih, dan wajib pula mengetahui perbedaan diantara para perawi tsiqah yang dinukil riwayatnya dan para perawi yang buruk.
Hendaklah seorang berhati-hati terhadap riwayat dari para perawi yang tertuduh, dan juga para perawi yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”
(Muqadimah Shahih Muslim 1/7)

Ya, kehati-hatian merupakan hal mendasar yang harus dipegang dalam menyikapi hadits-hadits dari seorang ahli bid’ah, baik yang jelas penyimpangannya ataupun belum jelas.
Adapun jika kemudian setelah melalui pengkajian dan penyelidikan yang seksama, menjadi jelas diketahui bahwa perawi dari kalangan ahli bid’ah itu ternyata adalah seorang yang jujur, hafizh, tsiqah, dan bukan seorang pendusta serta tidak pula menghalalkan kedustaan, ataupun kemudian memang telah jelas diketahui kalau penisbatan bid’ah kepadanya itu ternyata tidaklah tsabit, maka jika seperti ini riwayat darinya bisa diterima.


Kedua : Pembagian terhadap status dari bid’ah itu sendiri

Dalam hal ini kita bagi saja menjadi 2 (dua) kelompok :
1. Bid’ah yang menjadikan ahli bid’ah itu kafir
2. Bid’ah yang tidak menjadikan ahli bid’ah itu kafir

Adapun kelompok pertama, maka riwayatnya ditolak dan jelas gugur.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :
قال العلماء من المحدثين والفقهاء وأصحاب الأصول المبتدع الذي يكفر ببدعته لا تقبل روايته بالاتفاق
 
“Para ulama dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih dan ahli ushul menyepakati bahwa ahli bid’ah yang kebid’ah-annya menjadikan dia kafir, maka periwayatannya tidaklah diterima.”
(Al-Minhaj 1/60)

Sedangkan kelompok yang kedua, maka jika ia memang terbukti sebagai seorang yang jujur, hafizh, tsiqah, dan bukan seorang pendusta serta tidak pula menghalalkan kedustaan, maka riwayatnya bisa diterima.  


Ketiga : Pembagian terhadap sifat dari ahli bid’ah itu sendiri

Dalam hal ini kita bagi juga menjadi 2 kelompok :
1. Ahli bid’ah yang tidak menyeru atau tidak menyebarkan bid’ahnya.
2. Ahli bid’ah yang menyeru atau menyebarkan bid’ahnya

Adapun kelompok pertama, maka jika ia memang terbukti sebagai seorang yang jujur, hafizh, tsiqah, dan bukan seorang pendusta serta tidak pula menghalalkan kedustaan, maka riwayatnya bisa diterima.
Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan :
ففى الصحيحين وغيرهما من كتب أئمة الحديث الاحتجاج بكثيرين من المبتدعة غير الدعاة ولم يزل السلف والخلف على قبول الرواية منهم والاحتجاج بها والسماع منهم واسماعهم من غير انكار منهم والله اعلم
 
“Di dalam kitab Shahihain dan dalam kitab2 para imam hadits selain keduanya, maka didalamnya terdapat riwayat2 yang menjadi hujjah yang berasal dari kalangan ahli bid’ah yang tidak menyeru kepada bid’ahnya.
Dan kalangan ulama2 salaf dan khalaf-pun tidak segan untuk menerima riwayat2 dari ahli2 bid’ah ini dan ber-hujjah dengannya, mendengar hadits dari mereka dan memperdengarkan hadits kepada mereka tanpa mengingkarinya.”
(Al-Minhaj 1/61)

Sedangkan kelompok kedua, maka menurut madzhab yang shahih yang dipilih oleh imam An-Nawawi rahimahullah, maka riwayatnya ditolak.
Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan :
لا يجوز الاحتجاج بالداعية عند أئمتنا قاطبة لا خلاف بينهم في ذلك
 
“Menurut para imam kami bahwa tidaklah boleh berhujjah dengan riwayat ahli bid’ah yang menyeru kepada bid’ahnya. Dan tidak ada perselisihan diantara beliau semua dalam perkara ini.”
(Al-Minhaj 1/61)

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan :
يكتب عن القدري إذا لم يكن داعية
 
“Hadits dari seorang Qadariyah tetap ditulis, yaitu jika ia tidak menyeru kepada bid’ahnya.”
(Syarh ‘Ilal At-Tirmidzi 1/13)

Ibnu Mahdi rahimahullah mengatakan :
ثلاثة لا يؤخذ عنهم : المتهم بالكذب ، وصاحب بدعة يدعو إلى بدعته ، والرجل الغالي عليه الوهم والغلط
 
“Tiga golongan yang tidak diambil riwayat dari mereka, yaitu yang tertuduh sebagai pendusta, ahli bid’ah yang menyeru kepada bid’ah-nya, dan perawi yang banyak sekali wahm dan salahnya.”
(Syarh ‘Ilal At-Tirmidzi 1/29)
 

Semisal ada seorang Syi’ah yang menyebarkan paham bid’ah-nya atau mengajak kepada bid’ah-nya baik secara halus maupun terang2an, sebagaimana banyak kita temui orang-orang Syi'ah seperti ini sekarang,
Atau seorang Khawarij yang menyebarkan paham bid’ah-nya
atau mengajak kepada bid’ah-nya baik secara halus maupun terang2an,
Atau seorang Qadariyah yang menyebarkan paham bid’ah-nya atau mengajak kepada bid’ah-nya baik secara halus maupun terang2an
Dan juga ahli2 bid'ah yang lainnya yang menyeru kepada bid'ahnya, maka orang-orang seperti ini ditolak riwayatnya. 


Keempat : Bilakah riwayat dari seorang ahli bid'ah yang dikenal jujur itu kemudian diterima?

Yakni jika riwayat darinya ini tidaklah menguatkan kepada bid’ahnya.
Al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Hafizh Abu Ishaq Al-Juzajani rahimahullah -syaikhnya imam Abu Dawud rahimahullah dan imam An-Nasa’i rahimahullah- mengatakan :
ومنهم زائغ عن الحق -أي عن السنة-  صدوق اللهجة , فليس فيه حيلة إلا أن يؤخذ من حديثه ما لا يكون منكرا إذا لم يقو به بدعته
“Dan diantara para perawi itu ada yang menyimpang dari kebenaran -yakni dari sunnah-  namun jujur ucapannya, maka perawi seperti ini, tidak alasan bagi kami kecuali akan diambil haditsnya yang tidak munkar yaitu apabila haditsnya itu tidak menguatkan kepada bid’ahnya.”
(Nuzhatun-Nazhar fi Taudhih Nukhbatil-Fikar halaman 128)
 

Sehingga apabila hadits yang datang dari perawi ahli bid'ah itu adalah sebagai sesuatu yang mendukung atau menguatkan bid'ah mereka, maka riwayatnya adalah tertolak.

Dikatakan pula bahwa dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun perkataan Abu Ishaq rahimahullah di atas merupakan sesuatu yang baik untuk dijadikan pegangan dalam permasalahan ini dan seperti ini pulalah yang dipilih oleh Al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah.

Wallaahu a’lam.
 

Selanjutnya....
Dalam hal ini, ada hal yang juga perlu diperhatikan, yaitu bahwa diterimanya hadits dari seorang perawi ahli bid'ah, bukanlah berarti merupakan suatu pengakuan akan kebenaran bid'ahnya.
Imam al-Bukhari rahimahullah, imam Muslim rahimahullah, dan ulama2 hadits yang lainnya memang ada mengambil periwayatan hadits dari para perawi ahli bid'ah, akan tetapi pemikiran para perawinya yang bid'ah dan manhaj-nya yang bid'ah sama sekali tidak diambil dan bahkan dijauhi serta diingkari.

Hal ini sebagaimana dikatakan bahwa :
"Kejujuran mereka (dalam periwayatan hadits) adalah untuk kita, sedangkan bid'ahnya tetaplah diingkari dan kebid'ahannya itu hanyalah untuk mereka."

Ya, kurang lebihnya, seperti itulah.
Wallaahu a’lam. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar