Allah berfirman di dalam kitab-Nya:
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya
Rabb-mu melapangkan rejeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan
menyempitkannya.Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan
hamba-hamba-Nya.”(Q.S Al-Isra ayat 30}
Tentang ayat ini, Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah mengatakan :
إخباراً أنه تعالى هو الرزاق القابض الباسط المتصرف في خلقه بما يشاء, فيغني من يشاء, ويفقر من يشاء لما له في ذلك من الحكمة
“Ayat
ini mengabarkan bahwa Allah ta’ala, Dia-lah yang memberi rejeki,
menggenggamnya, melapangkannya, dan mengaturnya untuk makhluk2-Nya
sebagaimana yang Dia kehendaki.
Maka Dia jadikan kaya siapa yang Dia
kehendaki, dan Dia jadikan faqir siapa yang Dia kehendaki yang pada hal
itu terdapat hikmah.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Adapun
sebagian orang, mereka memandang bahwa kekayaan dan kemiskinan ini
merupakan salah satu patokan bagi kehinaan dan kemuliaan seseorang.
Jika dia kaya, maka dia mulia, tapi jika dia miskin, berarti dia adalah orang yang hina.
Padahal masalahnya tidaklah seperti itu.
Kehinaan dan kemuliaan seseorang, sama sekali tidak ditentukan dari banyak atau sedikitnya harta yang Allah berikan kepadanya.
Bahkan telah tsabit dalam hadits yang shahih, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةَ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ
“Aku berdiri di pintu surga, dan ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang2 miskin.”
(Shahih al-Bukhari 7/30 no.5196)
Atau sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal :
وقالت هذه يدخلني الضعفاء والمساكين
“Dan surga berkata : “Orang2 lemah dan orang2 miskin akan memasukiku.”
(Shahih Muslim 4/2186 no.2846)
Bukankah ini merupakan satu kemuliaan yang besar bagi orang2 miskin?
Maka sungguh kemiskinan bukanlah selalu berarti suatu kehinaan, dan begitupula kekayaan tidaklah selalu berarti kemuliaan.
Berkenaan dengan masalah ini, Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan dalam tafsir atas surat Saba’ ayat 36 :
قل
لهم يا محمد(إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ) من المعاش والرياش في
الدنيا(لِمَنْ يَشَاءُ) من خلقه(وَيَقْدِرُ) فيضيق على من يشاء لا لمحبة
فيمن يبسط له ذلك ولا خير فيه ولا زلفة له استحق بها منه ، ولا لبغض منه
لمن قدر عليه ذلك ولا مقت ، ولكنه يفعل ذلك محنة لعباده وابتلاء ، وأكثر
الناس لا يعلمون أن الله يفعل ذلك اختبارًا لعباده ولكنهم يظنون أن ذلك منه
محبة لمن بسط له ومقت لمن قدر عليه.
“(Allah berfirman) : “Wahai
Muhammad, katakanlah kepada mereka : “Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan
rejeki “ dari hal penghidupan dan pakaian2 yang mewah bagi siapa yang
dikehendaki-Nya diantara makhluk2-Nya. Dan Dia menyempitkan bagi siapa
yang dikehendaki-Nya,
(Tapi) semua itu bukanlah karena kecintaan
Allah kepada orang2 yang Dia lapangkan rejekinya dan tidak pula karena
kebaikan di dalamnya……
Dan itu juga bukanlah karena kemarahan dan
kebencian Allah kepada orang2 yang Dia sempitkan rejekinya. Akan tetapi
Allah melakukan itu adalah sebagai ujian dan cobaan untuk hamba2-Nya.
Sebagian
besar manusia tidak mengetahui bahwa Allah melakukan itu sebagai ujian
untuk hamba2-Nya, dan mereka menyangka bahwa orang2 yang dilapangkan
rejekinya merupakan tanda kecintaan Allah sedangkan bagi orang2 yang
disempitkan rejekinya merupakan tanda kebencian Allah.”
(Jami’ul-Bayan 20/410)
Kemudian,
Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah di tempat lainnya menjelaskan dari
sisi yang lebih prinsipil dalam masalah ini, yaitu bahwa pada kedua
keadaan tersebut (yakni kelapangan dan kesempitan rejeki), maka sisi
keta’atan kepada Allah-lah yang seharusnya menjadi hal yang diperhatikan
oleh seorang hamba.
Beliau rahimahullah mengatakan :
فإن الله
تعالى يعطي المال من يحب ومن لا يحب ويضيق على من يحب ومن لا يحب وإنما
المدار في ذلك على طاعة الله في كل من الحالين إذا كان غنيا بأن يشكر الله
على ذلك وإذا كان فقيرا بأن يصبر
“Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan
harta kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia
cintai. Dan Dia menyempitkan rejeki kepada orang yang Dia cintai dan
kepada orang yang tidak Dia cintai.
Acuan dalam masalah ini hanyalah berkenaan dalam ketaatan kepada Allâh dalam dua keadaan tersebut.
Apabila
seseorang itu diberikan kekayaan, maka hendaknya ia bersyukur kepada
Allâh atas hal itu, dan jika ia berada dalam kemiskinan, maka hendaknya
ia bersabar.”
(Tafsir ibnu Katsir 8/388)
Apa yang dikemukakan
oleh Al-Hafizh rahimahullah di atas, adalah sebagaimana sabda Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam mengenai sifat seorang mu'min :
عجبا لأمر المؤمن إن أمره كله خير وليس ذاك لأحد إلا للمؤمن إن أصابته سراء شكر فكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر فكان خيرا له
"Sungguh
mengagumkan urusan seorang mu'min. Sesungguhnya setiap urusannya adalah
baik, dan tidaklah hal itu terjadi kecuali kepada diri seorang mu'min.
Apabila dia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Dan bersyukur itu adalah baik baginya.
Apabila ia tertimpa kemudharatan, maka ia bersabar. Dan bersabar itu adalah baik baginya."
(Shahih Muslim 4/2295 no.2999)
Maka
benarlah apa yang dikatakan oleh Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah,
bahwa bagi seorang muslim, kedua keadaan tersebut, yakni baik dalam
kelapangan ataupun kesempitan rejeki atau dalam kondisi kaya ataupun
miskin, maka hendaknya sisi keta’atan kepada Allah dalam kedua keadaan
itulah yang seharusnya menjadi hal yang diperhatikan dan diutamakan
olehnya.
Jika ia kaya, hendaknya ia menjadi seorang muslim yang bersyukur.
Dan jika ia miskin, hendaknya ia menjadi seorang muslim yang bersabar.
Terakhir.....satu yang perlu sekali diingat, yaitu bahwa :
وقد يكون الغنى في حق بعض الناس استدراجاً, والفقر عقوبة, عياذاً بالله من هذا وهذا
“Adakalanya kekayaan yang ada pada sebagian manusia itu merupakan satu istidraj
(atau bisa dikatakan sebagai sesuatu yang pada akhirnya akan menuju
kepada kebinasaan), sedangkan kemiskinan itu merupakan satu hukuman.
(Maka) kita berlindung kepada Allah dari kedua hal tersebut.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar