Jumat, 10 Januari 2014

Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallaahu 'anhu bukan seorang munafik - Bantahan untuk Rafidhah (2)

Tentang tulisan di blog ini Abu Musa Al-Asyari radhiyallaahu 'anhu bukan seorang munafik (bantahan untuk Rafidhah), ternyata ditanggapi oleh orang Rafidhah tersebut.
Langsung saja, di sini kita akan berikan sedikit tanggapan balik untuknya....

Orang Rafidhah itu mengatakan :
Jika ia tidak keberatan menuduh kami sebagai orang Syi’ah maka harusnya ia tidak keberatan pula jika ia dikatakan nashibiy.
Ooowh….silahkan…..sangat dipersilahkan sekali.
Saya tidak heran koq, coz memang seperti itulah menurut qaidah Syi’ah Rafidhah seperti anda bahwa siapapun yang menentang Syi’ah Rafidhah, akan dianggap sebagai Nashibi, siapapun orangnya.

Orang Rafidhah itu lalu mengatakan :
Secara umum tulisannya tidaklah membantah keseluruhan tulisan yang kami tulis tentang Abu Musa. Sebelumnya kami membawakan tiga keberatan mengenai pribadi Abu Musa yaitu :
2.Riwayat shahih bahwa Abu Musa termasuk dalam ahlul aqabah dimana ahlul aqabah yang dimaksud adalah orang yang ingin membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] pada saat pulang dari perang Tabuk
Adakah nashibiy tersebut membahas tiga riwayat tentang Abu Musa di atas?.

Aneh sekali orang Rafidhah ini….
Tentang riwayat yang pertama, justru tulisan saya itu adalah untuk menanggapi hal itu.

Saya tidak berputar-putar membahas dari sisi takhrij, sanad, atau apalah karena memang sudah jelas bagi saya kalau sanad riwayat itu adalah shahih.

So, tidak perlulah bagi saya berpanjang-panjang membahasnya. Saya fair saja koq dalam hal ini.

Adapun yang lebih ditekankan dalam tanggapan saya sebelumnya adalah cara orang Rafidhah itu membahas riwayatnya berikut syubhat yang dia bawakan atas riwayat tersebut.



Sedangkan tentang riwayat ke-2 dan ke-3, maka ini sebelumnya tidak dibahas karena memang tidak perlu dibahas. Untuk apakah cara berdalil yang serampangan, lalu dipaksa-paksakan dan semau gue seperti itu dibahas? Ada2 saja orang Rafidhah ini.

Tapi, ok-lah, untuk tidak mengecewakannya, sedikit akan kita bahas di sini….



Riwayat ke-2 mengenai peristiwa al-‘Aqabah, sama sekali tidak menunjukan apa2, kecuali hanya coba dikait-kaitkan oleh orang Rafidhah itu secara serampangan dalam menambahkan kesan bahwa Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu itu memang benar seorang munafik.



Padahal, kejadian berikutnya setelah peristiwa ‘Aqabah itu terjadi, sebenarnya telah meng-clearkan masalah tersebut, yakni saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ke Yaman untuk menjadi juru dakwah di sana bersama Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu.

Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari haditsnya Abu Burdah, ia berkata :

بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبَا مُوسَى وَمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ وَبَعَثَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى مِخْلَافٍ قَالَ وَالْيَمَنُ مِخْلَافَانِ ثُمَّ قَالَ يَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا وَبَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Musa dan Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhuma ke negeri Yaman. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus masing2 dari keduanya ke lokasi yang berbeda, sebab Yaman saat itu terdiri dari dua daerah.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda  : “Permudahlah oleh kalian dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan jangan menjadikan mereka benci.”

(Shahih al-Bukhari 5/161 no.4342)



Nah, pengutusan ini benar2 menyelesaikan masalah tentang peristiwa ‘Aqabah yang terjadi sebelumnya, karena peristiwa pengutusan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ini menunjukan bahwa Abu Musa bersih dari tuduhan ke-munafik-an saat terjadi peristiwa ‘Aqabah dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak menganggap kalau beliau adalah termasuk seorang yang munafik, sebab sangat mustahil sekali bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang munafik untuk mendakwahkan risalah agama ini.



Lucunya, saat orang Rafidhah itu berbicara tentang masalah peristiwa Al-‘Aqabah ini, dia malah berargumen dengan cara yang konyol, yaitu saat dia mengatakan kepada orang lain yang pernah membantahnya:

Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mengutus Walid bin Uqbah kepada bani musthaliq dan ternyata Walid adalah seorang yang fasiq dan berdusta kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah menjadikan salah seorang sahabat sebagai penulis wahyu dan ternyata ia mengubah-ngubah wahyu yang ditulis.

Argumen ini benar2 konyol.
Apa yang dia bawakan ini adalah tentang diutusnya seseorang oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum terjadinya peristiwa yang menyebabkan orang tersebut kemudian dicela.

Sedangkan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu diutus oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah peristiwa ‘Aqabah yang dipermasalahkan oleh orang Rafidhah itu.

Peristiwa tentang al-Walid yang dia bawakan itu kondisinya benar2 berbeda dengan peristiwa ‘Aqabah dan pengutusan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ke Yaman, dan tentu saja pengambilan kesimpulannya pun tidak bisa disamakan.



Perhatikanlah dan renungkanlah dengan baik….

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus Al-Walid sebelum turunnya ayat Al-Quran tentang dirinya. Kemudian atas perbuatannya, barulah kemudian turun ayat yang mencela dia.

Adapun Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu diutus oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah peristiwa ‘Aqabah yang dipermasalahkan oleh orang Rafidhah itu.

Dalam peristiwa ‘Aqabah, terjadi kesamaran akan status Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu menurut orang Rafidhah itu, apakah beliau seorang munafik atau bukan, maka ketetapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah terjadinya peristiwa itu dengan memilihnya untuk menjadi Da’i ke Yaman telah menjawab tuntas masalah ini dan telah menyingkapkan kesamaran yang ada yaitu bahwa Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu –di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersih dari tuduhan ke-munafik-an saat terjadi peristiwa ‘Aqabah dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak menganggap kalau beliau adalah termasuk seorang yang munafik, sebab Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat mustahil sekali menyuruh seorang munafik untuk mendakwahkan risalah agama ini.
Bagaimana bisa ia hendak menyamakan dua kondisi yang jelas2 berbeda diantara dua peristiwa ini??
Tidakkah orang Rafidhah itu bisa berpikir dan berhujjah secara benar, dan bukan berpikir secara terbalik sebagaimana biasa dia lakukan dalam tulisan2nya?

Aneh sekali….



Adapun, tentang riwayat yang ke-3 bahwa ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu pernah mendo’akan satu kejelekan bagi Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, maka apa masalahnya disini?

Apakah bagi orang Rafidhah tersebut do’a seperti itu menunjukan akan kemunafikan seseorang?

Jika ya, betapa jahilnya dan betapa pendek sekali pikiran orang Rafidhah tersebut.

Jika tidak, lalu apa gunanya dia menukilkannya?



Sesungguhnya orang yang lebih utama dari ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu yakni Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal yang lebih besar daripada itu, yakni beliau telah melaknat seseorang, akan tetapi hal itu tidaklah berarti beliau kemudian menganggap orang yang beliau laknat tersebut sebagai orang munafik, bahkan beliau tetaplah mengharapkan kebaikan bagi orang yang beliau laknat dan caci tersebut.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari haditsnya ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, beliau berkata :

دخل على رسول الله صلى الله عليه و سلم رجلان فكلمها بشيء لا أدري ما هو فأغضباه فلعنهما وسبهما فلما خرجا قلت يا رسول الله من أصاب من الخير شيئا ما أصابه هذان قال وما ذاك قالت قلت لعنتهما وسببتهما قال أو ما علمت ما شارطت عليه ربي ؟ قلت اللهم إنما أنا بشر فأي المسلمين لعنته أو سببته فاجعله له زكاة وأجرا

“Dua orang laki2 masuk kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berbicara tentang sesuatu yang tidak aku ketahui yang kemudian membuat Rasulullah marah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu melaknat dan mencaci keduanya.

Ketika keduanya telah keluar, aku berkata : “Wahai Rasulullah, sepertinya kedua orang tadi tidak memperoleh kebaikan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain.”

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apa maksudnya?”

Aku berkata : “Engkau telah melaknat dan mencaci keduanya.”

Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah engkau tidak tahu apa yang pernah aku syaratkan kepada Rabb-ku? Aku berkata : “Ya Allah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, maka jika ada kaum muslimin yang aku laknat atau aku caci, jadikanlah hal itu sebagai pembersih dosa dan pahala baginya.”

(Shahih Muslim 4/2007 no.2600)



Adapun mengenai hubungan ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu dan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, maka sebagaimana diriwayatkan, bahwa hubungan ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu dan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu saat ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu menjadi khalifah itu tetaplah berjalan baik, dan beliau berdua tetap saling mengunjungi dan saling menasihati.

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan :

ثنا عفان ثنا أبو عوانة عن عاصم بن كليب حدثني أبو بردة بن أبي موسى قال كنت جالسا مع أبي موسى فأتانا علي رضي الله عنه فقام على أبي موسى فأمره بأمر من أمر الناس قال قال على قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم قل اللهم اهديني وسددني واذكر بالهدى هدايتك الطريق واذكر بالسداد تسديد السهم ونهاني ان اجعل خاتمي في هذه

“Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dan ‘Ashim bin Kulaib, telah menceritakan kepadaku Abu Burdah bin Abi Musa, ia berkata :

“Aku pernah duduk bersama Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, ketika ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu datang kepada kami kemudian beliau menuju Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu dan memerintahkannya dengan satu urusan diantara urusan manusia.”…

‘Ali radhiyallaahu ‘ahu berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk membaca do’a : “Allaahumahdiniy wa saddidni wadzkur bil-huda hidaayatakath-thariiqa wadzkur bis-sadaadi tasdiidas-sahmi.” Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarangku dari memakai cincin pada jari2 ini.”

(Musnad Ahmad 1/154 no.1320. Syaikh Syu’aib rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini : “Isnadnya kuat.”)



Imam Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan :

- أخبرنا أبو عبد الله الحافظ وأبو سعيد بن أبي عمرو قالا ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب ثنا أحمد بن عبد الجبار ثنا أبو معاوية عن الأعمش عن الحكم عن عبد الرحمن بن أبي ليلى قال جاء أبو موسى الأشعري يعود الحسن بن علي رضي الله عنهما فقال له علي رضي الله عنه أعائدا جئت أم شامتا فقال بل عائدا فقال علي رضي الله عنه فإن كنت جئت عائدا فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول إذا أتى الرجل أخاه يعوده مشى في خرافة الجنة حتى يجلس فإذا جلس غمرته الرحمة فإن كان غدوة صلى عليه سبعون ألف ملك حتى يمسي

“Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdullah al-Hafizh dan Abu Sa’id bin Abi ‘Amru, keduanya mengatakan : “Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdul-Jabar, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy dari al-Hakam, dari ‘Abdurrahman bin Abi Laila, ia berkata :

“Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu datang mengunjungi Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhuma, maka ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu, bertanya kepada Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu: “Apakah engkau datang untuk mengunjungi kami ataukah karena gembira atas musibah yang menimpa kami?”

Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu menjawab : “Bahkan, aku hanya berkunjung.”

Maka ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu berkata : “Kalau engkau datang karena berkunjung, maka sungguh aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seorang laki2 datang mengunjungi saudaranya di sore hari, maka ia berada pada kebun surga hingga ia duduk. Apabila ia telah duduk, maka ia dilimpahi rahmat. Jika ia datang di waktu pagi, maka 70 ribu malaikat akan memohonkan shalawat untuknya dari waktu pagi sampai sore harinya.”

(Sunan Al-Kubra 3/380 no.6376. Syaikh Syu’aib rahimahullah dalam Musnad Ahmad mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan.)



Perselisihan diantara sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka itu adalah hal yang lumrah dan keluarnya kata2 yang tidak baik dari seorang sahabat kepada sahabat yang lain adalah suatu hal yang adakalanya memang terjadi, bahkan di masa hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sekalipun.
Semisal perselisihan ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu dan Hathib radhiyallaahu ‘anhu sampai-sampai ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu menuduhnya sebagai orang munafik.

Tapi toh, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetaplah memandang baik keduanya.

So, hal2 seperti  itu sama sekali bukan menjadi suatu alasan bagi seseorang untuk bersikap konyol sok tahu menilai berdasarkan pikiran kotornya sendiri semisal yang dilakukan oleh orang2 Syi’ah Rafidhah.

Ah…Rafidhah....Rafidhah.....penyakit dan karakter utama kalian dari dulu memang tidak pernah berubah.
 

Allaahul-musta’an.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar