Dalam masalah do’a Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam kepada Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu : “Ya
Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah ia di hari kiamat nanti
di tempat yang mulia”, dan tentang diterimanya kesaksian seseorang yang dituduh
munafik, orang Rafidhah itu mengatakan :
Kemudian nashibiy yang dimaksud membawakan hadis keutamaan Abu Musa Al Asy’ariy yang diriwayatkannya sendiri dimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakannya. Dalam sebuah riwayat panjang dari Abu Musa, ia berkata :Maka aku [Abu Musa] berkata “wahai Rasulullah mohonkanlah ampun untukku”. Maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah ia di hari kiamat nanti di tempat yang mulia” [Shahih Muslim 4/1943 no 2498].Seperti yang pernah kami bahas sebelumnya, ini adalah riwayat Abu Musa Al Asy’ariy sendiri. Kami katakan tidak kuat sebagai hujjah karena jika memang Abu Musa adalah seorang munafik seperti yang dikatakan Hudzaifah maka riwayatnya tertolak, bukankah salah satu ciri munafik adalah tidak segan-segan berdusta dalam perkataannya.
Tanggapannya ini
malah menunjukan bahwa orang Rafidhah itu memang tidak bisa berpikir dengan
cara yang benar, dan yang dia bisa hanya berusaha menyambung-nyambungkan
sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung. Konyol sekali
jika hanya karena dituduh, maka orang Rafidhah itu menganggap otomatis segala
shifat munafik langsung melekat pada orang yang dituduh.
Padahal, tuduhan
munafik kepada seseorang, maka hal itu tidak otomatis menjadikan seseorang yang
dituduh munafik itu serta merta dihukumi sebagai pembohong, apalagi jika memang
sebelumnya orang yang dituduh itu jelas2 merupakan orang yang terpercaya.
Mengapa ?
Sebab,
adakalanya, tuduhan munafik itu hanyalah timbul dari penilaian yang salah dari
seseorang atas apa yang dilakukan oleh orang lain, semisal tuduhan yang pernah dikemukakan Jabir radhiyallaahu 'anhu kepada seseorang (atau semisal tuduhan 'Umar radhiyallaahu 'anhu kepada Hathib radhiyallaahu 'anhu).
Perhatikanlah
riwayat dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu :
“Seorang laki-laki keluar dan
shalat sendiri, maka hal itu disampaikan kepada Mu’adz. Maka ia berkata
“sesungguhnya ia seorang munafik”. Maka disampaikan hal itu kepada orang
tersebut, ia datang kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan berkata
“wahai Rasulullah kami adalah kaum yang bekerja menyiram ladang dan Mu’adz
shalat bersama kami membaca Al Baqarah maka aku keluar dan ia menganggapku
munafik”. Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata “wahai Mu’adz apakah
engkau hendak membuat fitnah”.”
Hadits di atas
jelas menunjukan bahwa prasangka Jabir bahwa orang itu adalah seorang munafik
hanyalah karena disebabkan ia keluar dari jama’ah yang sedang shalat dan
memilih untuk melaksanakan shalat sendirian, bukan karena ia sering berbohong atau
apapun, dan orang yang dituduh munafik itu lalu mengadukan hal tersebut kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, kedudukan orang
yang dituduh itu saat mengadukan masalahnya kepada Nabi, bukanlah sebagai
seorang pembohong, akan tetapi tetap pada kejujurannya dan terpercayanya dia jika
memang sebelum dituduh itu dia adalah orang yang jujur dan terpercaya.
Begitupula dengan
Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.
Sebelum beliau
dituduh sebagai munafik, maka Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu adalah
orang yang terpercaya dan dipercayai oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan sahabat2 Nabi lainnya.
So, pada saat
beliau dituduh, kejujuran dan terpercayanya beliau sama sekali tidak gugur
hanya karena tuduhan tersebut.
Terlebih lagi
tuduhan itu sendiri belum jelas benar salahnya, dan tidak jelas juga dalam hal
apa.
Jika saja,
tuduhan itu hanyalah berkenaan dengan suatu perbuatan semisal apa yang
dilakukan oleh orang yang keluar dari shalat jama’ah, maka tentu saja hal ini
sama sekali tidak menggugurkan kejujuran dan terpercayanya seseorang.
Bagaimana bisa
orang yang dipercayai oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan oleh
sahabat2 Nabi lainnya, akan digugurkan oleh tuduhan seseorang yang belum jelas
karena apa dan dalam hal apa??
Kesimpulannya…
Kedudukan Abu Musa
radhiyallaahu ‘anhu tetaplah pada asalnya yakni jujur dan terpercaya, sebagaimana
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam-pun mempercayainya dan sahabat2 yang lain
juga mempercayainya dan perkataannya benar dan kesaksiannyapun tetap diterima,
sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam-pun tetap menerima kesaksian
orang yang dituduh oleh Jabir bin ‘Abdullah radhiyallaahu ‘anhu.
Dengan ini, maka
periwayatannya tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Ya Allah,
ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah ia di hari kiamat nanti di
tempat yang mulia”, adalah benar dan shahih.
Adapun orang
Rafidhah itu, maka sekali lagi, tanggapannya ini malah menunjukan bahwa dia memang
tidak bisa berpikir dengan cara yang benar, dan yang dia bisa hanya berusaha menyambung-nyambungkan
sesuatu yang sebenarnya tidak nyambung berdasarkan ilusinya dan pikirannya yang
ngeres.
Konyol sekali
jika hanya karena dituduh, maka orang Rafidhah itu menganggap otomatis segala
shifat munafik semisal berdusta, langsung melekat pada orang yang dituduh.
Terakhir, tentang keutamaan
Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu, orang Rafidhah itu mengatakan :
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] berkata sesungguhnya Abdullah bin Qais atau Al Asy’ariy diberikan seruling dari seruling-seruling keluarga Daud [Shahih Muslim 1/546 no 793]Riwayat ini shahih tetapi jika dijadikan pembatal ketiga riwayat shahih yang kami tulis maka itu namanya terburu-buru. Silakan pembaca lihat keutamaan Abu Musa apa yang dinyatakan dalam hadis di atas, tidak lain itu keutamaannya yang memiliki suara yang indah ketika membaca Al Qur’an. Maka dimana letak hujjahnya. Apakah seorang yang bersuara indah tidak bisa menjadi seorang yang murtad atau munafik akibat perbuatan atau maksiatnya kelak?. Ya tidak nyambung itu dua sisi yang berbeda.Jika nashibiy tersebut mengatakan lihatlah keutamaan Abu Musa tersebut yang begitu besar bahkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] menyandingkannya dengan nama seorang Nabi [Daud ‘alaihis salaam]. Ini pun hujjah yang aneh cuma permainan bahasa [kata-kata] yang tidak bernilai, silakan lihat keutamaan yang lebih dari itu dimana keutamaan itu disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri.“Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’iid, ia berkata Nabi [shallallaahu ‘alaihi wa sallam] bersabda “Sesungguhnya akulah yang pertama-tama mendatangi Haudh. Barangsiapa yang menuju kepadaku akan minum, dan barangsiapa yang minum niscaya tidak akan haus selama-lamanya. Sungguh akan ada beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku, kemudian antara aku dan mereka dihalangi”. Abu Haazim berkata : “kemudian An Nu’maan bin Abi ‘Ayyaasy mendengarku, lalu berkata ‘Beginikah kamu mendengar dari Sahl ?’. Aku berkata ‘Benar’. Lalu ia berkata ‘Aku bersaksi atas Abu Sa’iid Al-Khudriy, bahwasannya aku benar-benar telah mendengarnya dimana ia menambah lafaz : “Lalu aku [Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam] berkata “Mereka adalah bagian dariku”. Namun dikatakan “Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu” Maka aku berkata “Menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah [agama] sepeninggalku” [Shahih Al Bukhaariy no. 6583-6584].Silakan lihat, sahabat Nabi yang terusir dari Haudh tersebut adalah para sahabat yang disifatkan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dengan keutamaan “mereka adalah bagian dariku”.Menurut bahasa nashibiy tersebut maka ini adalah keutamaan yang besar bahkan disandingkan dengan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri. Tetapi keutamaan mereka ini batal atau terhapus akibat perbuatan mereka sendiri dimana mereka dikatakan mengubah [agama] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis Haudh di atas menjadi hujjah bahwa sahabat Nabi yang dikatakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sendiri sebagai “bagian dariku” tetap bisa mengubah [agama] sepeninggal Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Betapa
anehnya orang Rafidhah ini …..
Pertama :
Orang Rafidhah itu
mengatakan :
“Silakan pembaca lihat keutamaan Abu Musa apa yang dinyatakan
dalam hadis di atas, tidak lain itu keutamaannya
yang memiliki suara yang indah ketika membaca Al Qur’an. Maka dimana
letak hujjahnya. Maka dimana letak hujjahnya. Apakah seorang yang bersuara
indah tidak bisa menjadi seorang yang murtad atau munafik akibat perbuatan atau
maksiatnya kelak?”
Ini benar2 bantahan yang konyol.
Coba dia kasih tahu saya, diantara
sekian banyak orang yang bersuara indah saat membaca Al-Quran, siapakah selain
Abu Musa al-Asy’ari yang kemudian disebutkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sebagai “mizmar dari mizmar2 keluarga nabi Dawud
'alaihissalaam."
Adakah?
Jika tidak ada, maka ini menunjukan
bahwa kedudukan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu memiliki kedudukan yang khusus,
sekali lagi, kedudukan yang khusus yang sama sekali tidak sama dengan kedudukan
orang lainnya yang memiliki suara yang indah.
Betapa
konyolnya jika orang Rafidhah itu se-akan hendak menyamakan antara Abu musa
radhiyallaahu ‘anhu dengan para qari lainnya yang memiliki suara yang indah.
Kedua
:
Bukankah
dia sendiri yang telah membawa-bawa syubhat peristiwa al-‘Aqabah tentang diri
Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu yang mengesankan bahwa Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu
itu memang memiliki kemungkinan sebagai seorang munafik bahkan saat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup?
Nah,
penetapan keutamaan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu dalam hadits
tersebut dengan menyandingkan namanya dengan seorang Nabi oleh Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menunjukan bahwa Abu Musa al-Asy’ari
radhiyallaahu ‘anhu bukanlah seorang munafik di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, sebab sangat tidak mungkin Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memuji seorang yang munafik dengan cara menyandingkan namanya dengan seorang
Nabi dan tidak mungkin pula seorang munafik diberikan keutamaan seperti ini.
Tidakkah dia tahu
bahwa dari sekian banyak ribu sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka di sana hanya terdapat segelintir sahabat yang bisa dihitung dengan jari
yang namanya disandingkan dengan nama seorang Nabi dalam hal keutamaan?
Diantara yang
sedikit itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu yang disandingkan
namanya dengan Nabi Harun ‘alaihissalaam saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepada beliau tentang kedudukan ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu :
“Kedudukanmu
terhadapku seperti kedudukan Harun terhadap Musa.”
Ini adalah keutamaan
yang khusus, yang tidak diberikan kepada orang selain ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu.
Jika saja orang
Rafidhah itu menganggap penyandingan nama Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu dengan
Nabi Dawud ‘alaihissalaam dalam hal yang khusus itu hanyalah sebuah keutamaan
yang “biasa-biasa saja”, maka itu berarti bagi dia, keutamaan ‘Ali
radhiyallaahu ‘anhu yang disandingkan namanya dengan Nabi Harun ‘alaihissalaam-pun
adalah suatu hal yang “biasa-biasa saja”.
Apakah memang
seperti itu menurut dia?
Jika ya, konyol
sekali orang Rafidhah itu.
Ketiga :
Tentang pendalilan dia dengan hadits
al-Haudh, maka ini lebih konyol lagi…
Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Mereka adalah bagian dariku.”, dan dalam riwayat lainnya : “Wahai
Rabb, dariku dan dari umatku.”, maka ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
itu sama sekali tidak dalam konteks sedang menetapkan keutamaan seseorang atau keutamaan
sekelompok kaum.
So, tentu saja itu saja berbeda
konteksnya dengan penetapan keutamaan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu.
Ada2 saja orang Rafidhah itu.
Adapun selebihnya, maka ucapan2 orang Rafidhah itu tidak ada lagi yang perlu ditanggapi.
Allaahul-musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar