Sabtu, 18 Januari 2014

Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallaahu 'anhu bukan seorang munafik - Bantahan untuk Rafidhah (4)

Orang Rafidhah itu menanggapi lagi :
Bagi orang yang tidak berakal maka akan mudah untuk mengatakan bahwa jika ada sekelompok orang yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian ada seseorang yang dikatakan termasuk kelompok tersebut maka hal itu tidak menunjukkan apa-apa. Ya silakan kami tidak perlu menunjukkan kerendahan kualitas anda karena dengan berkomentar seperti itu anda sudah menunjukkan kerendahan diri anda...........
......................
Seperti yang kami katakan jika Abu Musa dituduh sebagai munafik oleh Huzaifah maka seyogianya untuk membebaskan tuduhannya ya harus dengan bukti riwayat selain dari riwayat Abu Musa. Dan begitu pula jika memang Abu Musa termasuk dalam dua belas ahlul aqabah musuh Allah dan Rasul-Nya maka riwayat dirinya juga tertolak. 
Orang Rafidhah ini -disebabkan kekusutan cara berpikirnya- terus saja mengungkit-ungkit peristiwa 'Aqabah....Padahal, orang yang akalnya lurus, maka dia akan mengkaji semua riwayat yang ada lalu mengambil kesimpulan yang tepat dari semuanya. Sedangkan orang yang akalnya bengkok -seperti orang Rafidhah ini-, maka hanya kebingungan, kekonyolan dan kekeraskepalaan yang dia dapat.

Pertama :
Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya bahwa kepercayaan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk mengutus Abu Musa radhiyallaahu 'anhu ke Yaman sebagai Da'i -sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari- telah meng-clear-kan tentang syubhat peristiwa Aqabah yang terjadi sebelumnya, karena peristiwa pengutusan Abu Musa radhiyallaahu ‘anhu ini menunjukan bahwa Abu Musa bersih dari tuduhan ke-munafik-an saat terjadi peristiwa ‘Aqabah dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak menganggap kalau beliau adalah termasuk seorang yang munafik, sebab sangat mustahil sekali bagi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang munafik untuk mendakwahkan risalah agama ini.

Kedua :
Jauh setelah peristiwa 'Aqabah, 'Ali radhiyallaahu 'anhu saat menjadi Khalifah tetap mempercayai Abu Musa radhiyallaahu 'anhu untuk menangai urusan kaum muslimin, sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Kalaulah Abu Musa radhiyallaahu 'anhu memang seorang munafik dan benar2 termasuk kedalam 12 orang munafik yang ditetapkan sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya, niscaya 'Ali radhiyallaahu 'anhu tidak akan pernah mempercayainya.
So, kepercayaan dari 'Ali radhiyallaahu 'anhu ini menjadi satu bukti bersihnya Abu Musa radhiyallaahu 'anhu dari tuduhan kemunafikan saat peristiwa 'Aqabah.

Ketiga :
Jauh setelah peristiwa 'Aqabah, yakni beberapa waktu sebelum terjadinya perang Jamal, ketika 'Ali radhiyallaahu 'anhu mengutus 'Ammar bin Yasir radhiyallaahu 'anhu ke Kufah dan menemui Abu Musa radhiyallaahu 'anhu (sedangkan 'Ammar bin Yasir termasuk orang yang tahu dan menyaksikan peristiwa 'Aqabah), beliau berkata kepada Abu Musa radhiyallaahu 'anhu dan Abu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu :
مَا رَأَيْتُ مِنْكُمَا مُنْذُ أَسْلَمْتُمَا أَمْرًا أَكْرَهَ عِنْدِي مِنْ إِبْطَائِكُمَا عَنْ هَذَا الْأَمْرِ
"Tidak pernah sejak ke-Islaman kalian berdua, aku melihat dari kalian berdua sesuatu yang aku benci selain dari lambatnya kalian mengikuti urusan ini."
(Shahih al-Bukhari 9/56 no.7102)

Perhatikanlah perkataan 'Ammar bin Yasir radhiyallaahu 'anhu di atas : "Tidak pernah sejak ke-Islaman kalian berdua...."
Dari perkataan 'Ammar radhiyallaahu 'anhu kepada Abu Musa radhiyallaahu 'anhu ini, kita dapat memetik satu faidah besar yakni bahwa yang paling dibenci dari diri Abu Musa radhiyallaahu 'anhu sejak Abu Musa masuk Islam adalah lambatnya Abu Musa dalam urusan yang disampaikan oleh 'Ammar sebelum terjadinya perang Jamal, meskipun sebenarnya Abu Musa radhiyallaahu 'anhu memiliki alasan yang sangat kuat dalam pendiriannya ini.

Nah, ini jelas menunjukan bahwa selain dalam peristiwa itu, tidak ada satupun yang ada pada diri Abu Musa radhiyallaahu 'anhu yang 'Ammar radhiyallaahu 'anhu benci lebih dari satu hal tersebut.
Penetapan dari 'Ammar ini jelas2 merupakan satu bukti yang sangat jelas bahwa Abu Musa radhiyallaahu 'anhu sejak ke-Islaman beliau, bersih dari kemunafikan dan sama sekali tidak termasuk dari 12 orang munafik yang bermaksud membunuh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam peristiwa 'Aqabah.
Sebab, kemunafikan dan maksud membunuh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bagi 'Ammar radhiyallaahu 'anhu tentu saja merupakan 2 hal yang sangat lebih berat dari hanya sekedar lambat mengikuti urusan yang disampaikan oleh 'Ammar. 
Kalaulah Abu Musa radhiyallaahu 'anhu memang termasuk orang munafik, dan termasuk kepada 12 orang munafik yang bermaksud membunuh Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, niscaya 'Ammar akan menjadikan 2 hal itu sebagai sesuatu yang sangat beliau benci dari diri Abu Musa radhiyallaahu 'anhu.
Clear?

Kemudian, tentang masalah celaan dan laknat dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, orang Rafidhah itu berkata :


Dalam pandangan nashibi, orang yang dilaknat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak berarti apa-apa. Bahkan sebaliknya akan mendapatkan kebaikan akibat laknat tersebut. Nashibi tersebut berhujjah dengan hadis berikut :
Dua orang laki2 masuk kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berbicara tentang sesuatu yang tidak aku ketahui yang kemudian membuat Rasulullah marah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu melaknat dan mencaci keduanya.
Ketika keduanya telah keluar, aku berkata : “Wahai Rasulullah, sepertinya kedua orang tadi tidak memperoleh kebaikan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain.”
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apa maksudnya?”
Aku berkata : “Engkau telah melaknat dan mencaci keduanya.”
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah engkau tidak tahu apa yang pernah aku syaratkan kepada Rabb-ku? Aku berkata : “Ya Allah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, maka jika ada kaum muslimin yang aku laknat atau aku caci, jadikanlah hal itu sebagai pembersih dosa dan pahala baginya.”(Shahih Muslim 4/2007 no.2600)
Di sisi kami hadis ini tergolong musykil dan tidak serampangan seseorang berhujjah dengannya apalagi dengan hujjah yang tidak nyambung. Hadis ini tentu tidak bisa seenaknya dinyatakan bahwa siapapun yang dilaknat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka itu akan menjadi pembersih dosa baginya. Hadis ini hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin yang memang tidak layak mendapatkan laknat atau celaan tersebut.
Seperti itulah akal anda....pendek dan kusut, bahkan membaca argumen orang lainpun tidak bisa.
Memangnya kapan saya mengatakan bahwa orang yang dilaknat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak berarti apa-apa heh?? 
Padahal justru hadits itu adalah untuk menunjukan betapa serampangannya anda duhai Rafidhah.
Sebelumnya, saya hanya mengatakan :
"Apakah bagi orang Rafidhah tersebut do’a seperti itu menunjukan akan kemunafikan seseorang?
Jika ya, betapa jahilnya dan betapa pendek sekali pikiran orang Rafidhah tersebut.
Jika tidak, lalu apa gunanya dia menukilkannya?
Sesungguhnya orang yang lebih utama dari ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu yakni Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal yang lebih besar daripada itu, yakni beliau telah melaknat seseorang, akan tetapi hal itu tidaklah berarti beliau kemudian menganggap orang yang beliau laknat tersebut sebagai orang munafik."

Coba deh tulisan orang lain itu dibaca dengan tenang, secara baik dan benar.... 
Yang dijadikan pokok saat berhujjah dengan hadits tersebut adalah bahwa tidak selalu orang yang dilaknat, dicela ataupun dido'akan dengan sesuatu yang buruk oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka itu menjadi penentu buruknya orang tersebut, dan sama sekali tidak pada tempatnya jika dikait-kaitkan dengan kemunafikan seseorang, sebagaimana argumen anda yang konyol dan tidak nyambung sebelumnya. 
Terlebih lagi jika celaan ataupun laknatan itu diucapkan oleh seseorang selain Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka ini sama sekali tidak otomatis bahwa yang dicela ataupun dilaknat itu menjadi munafik ataupun termasuk orang munafik. 
Eh, tiba2 orang Rafidhah itu malah bicara yang bukan-bukan....cape deh...
Menyebalkannya, pembicarannya yang ngelantur seperti ini kemudian dia ulangi pada masalah yang lain, yakni tentang perselisihan diantara sahabat2 Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, orang Rafidhah itu mengatakan :
Agak menjijikkan jika di satu sisi yang bersangkutan begitu mensucikan sahabat dan ternyata ia sendiri meyakini bahwa sahabat satu sama lain lumrah lumrah saja menuduh munafik................
Jadi menurut nashibi tersebut, keluarnya kata-kata tidak baik antara sahabat yang satu kepada sahabat yang lain, termasuk kata “munafik” adalah perkara yang lumrah dan biasa saja.
Mensucikan sahabat??
Memangnya, kapan saya ngomong tentang kesucian sahabat??
Ahahahaha, rafidhah....rafidhah.....ngaco saja anda ini.
Memang benar apa yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa tidak ada yang lebih bodoh daripada orang2 Rafidhah sejenis anda ini. 

Adapun tentang sikap Ahlus-Sunnah terhadap diri sahabat2 Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka sudah masyhur di kalangan Ahlus-Sunnah bahwa 'Aqidah Ahlus Sunnah itu adalah mencintai sahabat2 Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menyebut kebaikan2 mereka, memintakan rahmat untuk mereka, memintakan ampun atas dosa2 mereka.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan :
ومن السنة تولي أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ومحبتهم وذكر محاسنهم والترحم عليهم والاستغفار لهم
“Termasuk sunnah ialah berwala’ dan mencintai sahabat2 Rasululloh shallallaahu ‘alaihi wa sallam, menyebut kebaikan2 mereka, memintakan rahmat untuk mereka, memintakan ampun atas dosa2 mereka."
(Lum'atul I’tiqad hal. 21)

Perhatikanlah perkataan ibnu Qudamah rahimahullah : " memintakan ampun atas dosa2 mereka."
Dengan memintakan ampunan bagi para sahabat ini, maka ini menujukan bahwa di sisi Ahlus-Sunnah, para sahabat itu tetaplah dapat melakukan perbuatan dosa, dan kadang melakukan kesalahan, baik kecil ataupun besar, dan memang seperti itulah adanya.
Sedikitpun Ahlus-Sunnah tidak menganggap kalau para sahabat itu suci tanpa kesalahan dan dosa. Tidak Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu, tidak 'Umar radhiyallaahu 'anhu, tidak 'Utsman radhiyallaahu 'anhu, dan tidak juga 'Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu 'anhu.
Kami tidaklah ghuluw seperti ghuluwnya orang Rafidhah terhadap imam2 mereka. 

Sedangkan mengenai perselisihan diantara sahabat2 Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang terkadang sampai mengeluarkan kata2 yang tidak baik memang adalah hal yang lumrah sebagaimana hal yang sama juga banyak terjadi pada manusia2 lainnya.
Mengapa? Ada masalah?
Para sahabat itu manusia yang kadang marah, kadang berbeda pendapat, kadang salah sangka, dan sebagainya. So, lumrah2 saja jika memang mereka terkadang berselisih. Begitupula jika memang pernah terjadi perselisihan diantara Hudzaifah radhiyallaahu 'anhu dan Abu Musa radhiyallaahu 'anhu sebagaimana diisyaratkan di dalam riwayat dari imam Ahmad rahimahullah yang menyebutkan perselisihan diantara Hudzaifah radhiyallaahu 'anhu dan Abu Musa radhiyallaahu 'anhu ini, yaitu :
كان بين حذيفة وبين رجل من أهل العقبة ما يكون بين الناس
"Pernah terjadi sesuatu antara Hudzaifah dan seorang laki2 ahlul-'Aqabah seperti yang juga terjadi pada manusia."
(Musnad Ahmad 5/390 no.23369)

Bacalah : "Maa yakuunu bainannaas." 

Sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terkadang saling berselisih di masa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan sebagian diantaranya pernah menuduh munafik kepada sebagian lainnya semisal yang pernah terjadi antara ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu dan Hathib radhiyallaahu ‘anhu sebagaimana pernah disinggung sebelumnya, akan tetapi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetaplah memandang baik kepada mereka.
Atau paman Nabi al-‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu yang pernah berselisih dengan ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu di masa ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu, kemudian Al-‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu menuduh ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu sebagai pendusta, akan tetapi ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu dan sahabat2 Nabi lainnya tetaplah memandang baik kepada beliau berdua.
Begitupula dengan para ulama Ahlus-Sunnah sesudah generasi para sahabat, mereka tetaplah memandang baik kepada para sahabat yang pernah berselisih itu.
Hal ini sebagaimana digambarkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah bahwa atas perselisihan para sahabat radhiyallaahu 'anhum ajma'in, maka : 
فعذرنا واستغفرنا وأحببنا باقتصاد ، وترحمنا على البغاة بتأويل سائغ في الجملة ، أو بخطأ - إن شاء الله - مغفور ، وقلنا كما علمنا الله ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا   
"Kamipun memberikan udzur kepada mereka dan memintakan ampunan untuk mereka, mencintai mereka dengan tulus, kami memintakan rahmat atas kekeliruan ta'wil mereka, ataupun atas kesalahan ijtihad mereka -insya Allah- mereka diampuni.Dan kami mengatakan sebagaimana diajarkan oleh Allah : "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman."
(As-Siyar 3/128)

Ya, Ahlus-Sunnah mengetahui perselisihan mereka, kemudian memintakan ampunan untuk mereka, sambil tetap mencintai mereka dengan tulus.
Dan Ahlus-Sunnah mengatakan sebagaimana diajarkan oleh Allah : "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman."

So what duhai Rafidhah??
Kami ini tidaklah seperti kalian dengan pikiran kotor dan ngeres kalian terhadap sahabat2 Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, dan kalian juga sekali-kali tidak akan pernah seperti kami.

Selanjutnya, tentang perkataan orang Rafidhah:
Jadi cara yang paling baik untuk menuntaskan perkara tuduhan Huzaifah bahwa Abu Musa adalah munafik adalah dengan mengembalikannya kepada perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Adakah hujjah dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang membatalkan kemunafikan Abu Musa.
Maka disana sudah ada do'a Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk Abu Musa radhiyallaahu 'anhu :
"Ya Allah, ampunilah dosa 'Abdullah bin Qais dan masukanlah ia di hari kiamat nanti ke tempat yang mulia."
(Shahih Muslim 4/1943 no.2498)

Ini adalah sebaik-baik ucapan dari lisannya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sendiri.
Jika orang Rafidhah itu beralasan dengan ini dan itu yang intinya adalah tidak mau menerima hadits tersebut hanya karena ucapan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam itu diriwayatkan oleh Abu Musa sendiri (padahal sudah jelas ta'dilnya para imam Ahli hadits Ahlus-Sunnah terhadap sahabat2 Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tanpa ada seorangpun yang menuduh Abu Musa radhiyallaahu 'anhu sebagai seorang pendusta), maka pengingkaran orang Rafidhah itu sebenarnya sudah menunjukan kekacauan pikirannya, kekonyolan kaidah pribadi yang dia ambil dari kantongnya sendiri, yang lucu dan mengada-ngada meskipun dia sendiri menyebutnya sebagai "objektif".
Maka bicara dengan orang seperti orang Rafidhah ini, sampai kapanpun tidak akan pernah ada ujungnya sebab tidak tsabitnya dia dalam kaidah. Di satu saat dia akan memakai kaidah para ulama hadits, tapi di saat yang lain kapanpun dia akan dengan mudah saja membuat-buat kaidah sendiri yang jelas2 berbeda dengan para ulama hadits.
Cape deh...

Kemudian, tentang keutamaan Abu Musa radhiyallaahu 'anhu yang diberikan karunia seperti yang pernah diberikan kepada Nabi Dawud 'alaihissalaam, saat saya mengatakan :
"Tidakkah dia tahu bahwa dari sekian banyak ribu sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka di sana hanya terdapat segelintir sahabat yang bisa dihitung dengan jari yang namanya disandingkan dengan nama seorang Nabi dalam hal keutamaan?
Diantara yang sedikit itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu yang disandingkan namanya dengan Nabi Harun ‘alaihissalaam saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada beliau tentang kedudukan ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu :
“Kedudukanmu terhadapku seperti kedudukan Harun terhadap Musa.”
Ini adalah keutamaan yang khusus, yang tidak diberikan kepada orang selain ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu."


Perhatikan yang saya bold...
Lalu, coba perhatikan tanggapannya orang Rafidhah itu...
Dia mengatakan :
Gak perlu sok berhujjah. Bukankah para nashibi sendiri yang merendahkan keutamaan Imam Aliy tersebut dengan alasan bahwa itu hanya analogi yang menunjukkan Imam Ali sebagai pengganti sementara untuk memimpin Madinah. Ketika orang-orang Syi’ah menunjukkan itu sebagai hujjah kekhalifahan Imam Ali maka kalian mati-matian menolaknya dengan alasan hanya “pengganti sementara” dan sejarah menunjukkan banyak pengganti lain di Madinah yang ditunjuk oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Aneh bin ajaib sekarang anda datang sok berkata keutamaan khusus.
Hehehehe.....konyol blasss....
Padahal jelas2 saya mengatakan bahwa keutamaan 'Ali radhiyallaahu 'anhu dari sisi itu adalah keutamaan yang khusus, yang tidak diberikan kepada orang selain ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu.
Eeeh, tiba2 dia malah bicara yang bukan-bukan, dan membawa-bawa orang lain yang -katanya- merendahkan 'Ali radhiyallaahu 'anhu.
Duuuh....Rafidhah....rafidhah....

Lebih konyolnya lagi, dia lalu mengatakan :
Sejak kapan para nashibi berpegang pada perkataan Imam Aliy.
Ini adalah satu satu kekonyolan yang lain dari orang Rafidhah dan sejenisnya yang paling parah.
Omongannya makin ngelantur aja ni orang.

Dalam masalah tuduhan Nashibi dan Rafidhah, orang Rafidhah itu mengatakan :
Berbeda dengan kami, dirinya mungkin sangat bersenang hati dengan tuduhan nashibi yang disematkan padanya. Maka mungkin bisa dikatakan bahwa tujuan dirinya dari awal menuduh orang lain rafidhah agar dirinya mendapat kehormatan untuk diberikan gelar nashibi. Maka kami katakan silakan anda bergembira dengan predikat diri anda sebagai nashib
Siapa yang merasa senang heh?
Saya tidak merasa perlu berpanjang-panjang tentang tuduhan Nashibi itu bukan karena saya senang atau gembira, tapi karena saya sudah tahu seperti apa kaidah orang2 Rafidhah seperti anda ini.
So, please deh....jangan ngelantur ah.
Lalu, dia mengatakan :
kami akan tetap terus menolak tuduhan bahwa kami rafidhah.
Tentu saja, tidak ada maling yang akan terang2an mengakui kalau dirinya maling.
Ada juga maling yang lebih jelek, yakni maling yang tidak merasa bahwa dirinya adalah seorang maling.
Akan tetapi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa serigala yang menyamar dengan bulu domba atau bulu ayam, baik ia merasa sebagai serigala ataupun dia merasa sebagai domba ataupun ayam, maka dia akan tetap dikenali dari lolongannya.
Seperti itulah Rafidhah, betapapun dia mengingkarinya, maka "lolongannya" tetaplah akan menunjukan kalau dia memang orang Rafidhah.
Adapun perkataannya :
Seperti biasa tuduhan bahwa kami Syi’ah rafidhah hanya muncul dari orang-orang yang kerdil akalnya, apakah kami sedang berhujjah dengan hadis-hadis rafidhah?
Entah dia ini pura2 jahil, atau memang jahil beneran....
Apa dia tidak tahu kalau orang2 Rafidhah itu sudah terbiasa menggunakan hadits2 Ahlus-Sunnah untuk menguatkan doktrin dan syubhat mereka??
Tentu saja seperti itu, sebab kalaulah orang Rafidhah itu berhujjah dengan hadits2 Rafidhah, maka itu sama saja dengan membuka kedok sendiri dan menunjukan belangnya sendiri...
Coba deh dibaca-baca kitab2 dari ulama2 Rafidhah atau didengarkan dari omongan2 mereka untuk mengetahui bagaimana mereka menggunakan hadits2 Ahlus-Sunnah, biar anda agak melek sedikit.

Selebihnya, tidak ada yang perlu ditanggapi lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar