Senin, 17 Maret 2014

Hukum Hadd untuk Peminum Khamr

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa kaum muslimin telah sepakat akan haramnya meminum khamr berdasarkan nash Al-Quran yang telah tsabit menetapkan akan keharamannya. Dan para ulama kaum muslimin juga telah sepakat akan wajibnya menegakan hukum hadd terhadap seorang peminum khamr, baik khamr yang diminumnya itu sedikit ataupun banyak.

Kemudian, masalah hukum hadd bagi peminum khamr ini boleh dikatakan merupakan satu diantara banyak hal yang di dalamnya terdapat kesepakatan diantara sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Nah, dalam hadits berikut ini, insya Allah, kita akan mendapati Fiqihnya para sahabat radhiyallaahu ‘anhum, berkenaan dengan beberapa perincian dalam pelaksanaan hukum hadd bagi seorang peminum khamr.


Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari haditsnya Hudhain bin Mundzir, ia berkata :
شهدت عثمان بن عفان وأتى بالوليد قد صلى الصبح ركعتين ثم قال أزيدكم ؟ فشهد عليه رجلان أحدهما حمران أنه شرب الخمر وشهد آخر أن رآه يتقيأ فقال عثمان إنه لم يتقيأ حتى شربها فقال يا علي قم فاجلده فقال علي قم يا حسن فاجلده فقال الحسن ول حارها من تولى قارها ( فكأنه وجد عليه ) فقال يا عبدالله بن جعفر قم فاجلده فجلده وعلي يعد حتى بلغ أربعين فقال أمسك ثم قال جلد النبي صلى الله عليه و سلم أربعين وجلد أبو بكر أربعين وعمر ثمانين وكل سنة وهذا أحب إلي
“Aku melihat ‘Utsman bin ‘Affan, dan pada waktu itu Al-Walid dibawa ke hadapannya yang baru saja menyelesaikan shalat Shubuh dua raka’at.
Al-Walid berkata : “Apakah aku menambahkan (raka’at) bagi kalian ?”
Maka, dua orang laki2 memberikan kesaksian padanya.
Salah satunya adalah Humran yang memberikan kesaksian bahwa Al-Walid telah meminum khamr. Sedangkan yang lain memberikan kesaksian bahwa ia melihatnya muntah.
‘Utsman berkata : “Ia tidak akan muntah jika tidak meminum khamr”.
Kemudian ‘Utsman berkata : ‘Wahai ‘Ali, berdirilah dan deralah orang ini !”.
Lalu ‘Ali mengatakan : “Berdirilah wahai Hasan, dan deralah ia!”.
Al-Hasan berkata : “Suruhlah orang yang menikmati jabatan yang mengerjakannya!”. (Se-akan2 Al-Hasan sedang marah kepadanya).
‘Ali lalu berkata : “Wahai ‘Abdullah bin Ja’far, berdirilah dan deralah ia!”.
Maka ‘Abdulah pun menderanya, sedangkan ‘Ali menghitungnya.
Sampai pada hitungan ke-40, ‘Ali berkata : “Tahan!”.
Kemudian, ‘Ali berkata : “Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendera sebanyak 40 kali, Abu Bakr 40 kali, dan ‘Umar 80 kali. Semuanya sunnah. Namun ini (yakni mendera 40 kali) lebih aku sukai.”
(Shahih Muslim 3/1331 no.1707)

Dan berikut beberapa permasalahan Fiqih yang terdapat dalam hadits ini…..


Pertama : Tentang kesaksian dalam penetapan hukum hadd bagi peminum khamr

Dalam matan hadits : “Salah satunya adalah Humran yang memberikan kesaksian bahwa Al-Walid telah meminum khamr. Sedangkan yang lain memberikan kesaksian bahwa ia melihatnya muntah.
‘Utsman berkata : “Ia tidak akan muntah jika tidak meminum khamr”.
Maka, ini menjelasan bahwa ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhu telah menetapkan hukum hadd bagi peminum khamr berdasarkan keterangan dua orang saksi, meskipun salah satu dari saksi tersebut tidak melihat langsung dia meminum khamr dan hanya sekedar melihatnya muntah.

Maka ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhu dalam hal ini telah berijtihad dengan menjadikan muntahnya seseorang sebagai salah satu tanda bahwa dia memang telah meminum khamr.
Hal ini dapat kita lihat dari ucapan beliau : “Ia tidak akan muntah jika tidak meminum khamr”.

Adapun ijtihad ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhu ini memang dikuatkan oleh kesaksian dari satu saksi lainnya yang telah melihat secara langsung orang tersebut meminum khamr.
Hal ini kemudian disepakati oleh ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu.
Semoga Allah ridha kepada keduanya.

Dan, mengenai ditegakannya hadd bagi peminum khamr berdasarkan muntahnya ini, maka Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :
هذا دليل لمالك وموافقيه في أن من تقيأ الخمر يحد حد الشارب ومذهبنا أنه لا يحد بمجرد ذلك لإحتمال أنه شربها جاهلا كونها خمرا أو مكرها عليها أو غير ذلك من الأعذار المسقطة
“Hadits ini menjadi dalil bagi imam Malik rahimahullah dan orang2 yang menyepakati beliau, bahwa barangsiapa yang muntah khamr, maka dia akan dikenakan hukum hadd atasnya.
Sedangkan madzhab kami, bahwa sekedar muntahnya seseorang dengan khamr tidak mengharuskan hukum hadd kepadanya, dengan adanya kemungkinan kalau orang itu tadinya meminumnya disebabkan ketidaktahuan bahwa itu adalah khamar, atau mengira bahwa itu hanyalah sesuatu yang makruh untuknya ataupun hal yang lainnya dari perkara2 udzur yang bisa membatalkan hukum hadd.”
(Al-Minhaj 11/311)

Yakni, apabila seseorang itu diketahui memuntahkan khamr, maka menurut imam Malik rahimahullah, hal itu bisa menjadi bukti bahwa dia telah meminum khamr, sehingga bukti itu mencukupi untuk ditegakkan hukum hadd atasnya. Pendapat imam Malik rahimahullah ini menyepakati pendapatnya ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhu dan ‘Ali radhiyallaahu ‘anhu.

Adapun menurut madzhab Asy-Syafi’i, muntahnya seseorang belum bisa dijadikan bukti yang kuat untuk penegakan hukum hadd, sebab bisa jadi sebelumnya dia tidak mengetahui kalau yang diminumnya itu adalah khamr, dan baru setelah dia mengetahui, maka diapun segera memuntahkannya. Dan syubhat seperti ini dapat menghalangi seseorang untuk di hukum hadd.

Wallaahu a’lam.

Semoga Allah merahmati para imam kaum muslimin.


Kedua : Tentang jumlah deraan dalam hukumannya

Matan hadits :
“Maka ‘Abdulah pun menderanya, sedangkan ‘Ali menghitungnya.
Sampai pada hitungan ke-40, ‘Ali berkata : “Tahan!”.
Kemudian, ‘Ali berkata : “Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendera sebanyak 40 kali, Abu Bakr 40 kali, dan ‘Umar 80 kali. Semuanya sunnah. Namun ini (yakni mendera 40 kali) lebih aku sukai.”

Maka ini menunjukan seperti apa pelaksaan hukum hadd bagi peminum khamr ini di masa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu dan 'Umar radhiyallaahu 'anhu.

Adapun pelaksanaan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu, maka telah diriwayatkan dari haditsnya Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, beliau mengatakan :
أن النبي صلى الله عليه و سلم أتي برجل قد شرب الخمر فجلدته بجريدتين نحو أربعين
قال وفعله أبو بكر
“Pernah didatangkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seorang laki2 yang telah meminum khamr. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam-pun menderanya sebanyak 40 kali.
Anas lalu berkata : “Dan hukuman seperti itu juga dilakukan oleh Abu Bakar.”
(Shahih Muslim 3/1330 no.1706)

Sedangkan di masa ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu, maka telah diriwayatkan pula dari haditsnya Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata :
فلما كان عمر ودنا الناس من الريف والقرى قال ما ترون في جلد الخمر ؟ فقال عبدالرحمن بن عوف أرى أن تجعلها كأخف الحدود قال فجلد عمر ثمانين
“Pada saat pemerintahan ‘Umar, manusia telah semakin banyak yang tinggal di daerah pelosok dan perkampungan, maka ‘Umar bertanya (kepada para sahabat) : “Apa pendapat kalian tentang hukuman dera bagi peminum khamr?”
‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata : “Aku berpendapat hendaklah hukuman itu sebagaimana hukuman yang paling ringan dari hukum hadd (yakni 80 kali dera).”
Anas berkata : “Maka ‘Umar-pun mendera sebanyak 80 kali.”
(Shahih Muslim 3/1330 no.1706)

Sebagai catatan, bahwa ucapan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anhu dalam riwayat di atas : “Sebagaimana hukuman yang paling ringan dari hukum hadd.”, maka yang beliau maksud dengan hukuman hadd yang paling ringan ini adalah hukuman dera sebanyak 80 kali bagi orang yang menuduh wanita mu’min berzina. Dalam hal ini, beliau telah melakukan qiyas dalam hukum tersebut, sekaligus ini menunjukan akan bolehnya qiyas dan juga disukainya untuk bermusyawarah dengan orang2 dari kalangan ahli ilmu.

Adapun, apa yang diusulkan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu ‘anhu berdasarkan qiyas ini kemudian disepakati oleh ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallaahu ‘anhu dan yang lainnya, sehingga jadilah ia ijma’.

Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan :
والعمل على هذا عند أهل العلم من أصحاب النبي - وغيرهم أن حد السكران ثمانون
“Hal ini telah diamalkan oleh ahli2 ilmu dari kalangan sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang selainnya bahwa hukum hadd untuk pemabuk itu adalah 80 kali dera.”
(Sunan At-Tirmidzi 4/84)

Lalu mengapa para sahabat radhiyallaahu ‘anhum menyepakati hukum hadd bagi peminum khamr ini adalah 80 kali, sedangkan beliau semua radhiyallaahu ‘anhu sama2 mengetahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu adalah 40 kali?
Apakah dengan ini beliau semua telah menyelisihi sunnah?

Untuk menjawab hal ini, maka Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :
ونقل القاضي عن الجمهور من السلف والفقهاء منهم مالك وأبو حنيفة والأوزاعي والثوري وأحمد وإسحاق رحمهم الله تعالى أنهم قالوا حده ثمانون واحتجوا بأنه الذي استقر عليه إجماع الصحابة وأن فعل النبي صلى الله عليه و سلم لم يكن للتحديد
“Al-Qadhi telah menukilkan dari jumhur ulama salaf dan ahli Fiqih, diantaranya Imam Malik, Abu Hanifah, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri, imam Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah ta’ala ‘anhum, mereka mengatakan bahwa hukum hadd bagi peminum khamr adalah 80 kali, dan mereka berhujjah bahwa hal ini merupakan ketetapan ijma sahabat dan bahwa hukum hadd yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukanlah suatu pembatasan.”
(Al-Minhaj 11/307)

Yakni, bahwa ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendera peminum khamr dengan 40 kali dera, maka perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini tidaklah menunjukan bahwa bilangan itu merupakan satu batasan yang tidak boleh ditambah. Sehingga, bagi seorang amir/imam/pemimpin, maka dia boleh menambah lebih dari 40 kali, jika dipandang bahwa hal itu memang diperlukan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan :
وحجة الشافعي وموافقيه أن النبي صلى الله عليه و سلم إنما جلد أربعين كما صرح به في الرواية الثانية وأما زيادة عمر فهي تعزيرات والتعزير إلى رأي الإمام إن شاء فعله وإن شاء تركه بحسب المصلحة في فعله وتركه
“Adapun hujjah imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan orang2 yang menyepakatinya yaitu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanyalah mendera sebanyak 40 kali sebagaimana hal ini jelas dalam riwayat. Adapun tambahan dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu (sehingga menjadi 80), maka ini merupakan hukuman ta’zir yang diserahkan kepada pendapat seorang imam. Jika ia mau, ia boleh melakukannya, dan jika mau, iapun boleh meninggalkannya, dengan memperhitungkan maslahatnya, baik dalam melakukannya ataupun meninggalkannya.”
(Al-Minhaj 11/307)

Dengan ini, jelaslah bahwa apa yang disepakati oleh ‘Umar. Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan para sahabat lainnya radhiyallaahu ‘anhum bukanlah merupakan satu penyelisihan terhadap sunnah.

Wallaahu a’lam. 

Semoga Allah ridha kepada beliau semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar