Kamis, 09 Oktober 2014

Masih Shalat Sunah Saat Iqamat Mulai dikumandangkan?

Ada situasi yang mungkin pernah atau akan dialami oleh seseorang, yaitu adakalanya saat seseorang sedang melakukan shalat sunnah di masjid ((tahiyatul-masjid, rawatib, ataupun shalat sunnah lainnya), ternyata iqamat mulai dikumandangkan dan shalat wajib berjama’ah akan dilaksanakan, sedangkan shalat sunnah yang ia laksanakan itu belum selesai. Lalu, dalam situasi seperti ini, apakah yang sebaiknya dilakukan olehnya?
Apakah meneruskan shalat sunnah sampai selesai?
Ataukah menghentikannya, dan shalat tersebut ia putuskan tanpa perlu menyelesaikannya?

Berkenaan dengan masalah ini,  Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan :
حدثني أحمد بن حنبل حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن ورقاء عن عمرو بن دينار عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال  إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة 
Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Warqa dari 'Amru bin Dinar dari 'Atha bin Yasar dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
”Apabila qamat untuk shalat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib."
(Shahih Muslim  1/493 no.710)

Hadits ini menunjukan bahwa ketika iqamah telah dikumandangkan, maka tidak ada bagi seseorang itu shalat yang perlu ia laksanakan kecuali hanya shalat wajib. Akan tetapi hadits ini juga sebenarnya bisa dimaknai bahwa hal itu berlaku hanya untuk orang yang baru mau melaksanakan shalat sunnah saat iqamah dikumandangkan.

Adapun, sebagian ulama berpendapat bahwa hadits ini menetapkan apabila seseorang itu sedang melaksanakan shalat sunnah (misalnya shalat sunnah rawatib, tahiyatul-masjid, dan yang lainnya), lalu ia mendengar iqamat dikumandangkan, maka hendaknya harus menghentikan shalat sunnah-nya saat itu juga karena tidak ada shalat saat iqamat dikumandangkan kecuali shalat wajib.
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa makna larangan dalam hadits ini bukanlah untuk orang-orang yang sedang melaksanakan shalat sunnah, akan tetapi itu adalah untuk orang2 yang baru mau melaksanakan shalat sunnah.
Sedangkan sebagian ulama yang lain memberikan perincian, yakni jika seseorang yang sedang melaksanakan shalat sunnah itu khawatir akan tertinggal shalat wajib berjama'ah bersama imam jika ia meneruskan shalat sunnahnya (misalnya saat itu ia baru melaksanakan satu raka'at), maka hendaknya ia hentikan shalat sunnahnya dan bersiap bersama imam untuk melaksanakan shalat wajib berjama'ah. Tapi, jika ia tidak khawatir akan tertinggal shalat berjama'ah bersama imam (misalnya saat itu ia sedang membaca tasyahud pada raka'at kedua), maka tidak mengapa jika ia memilih untuk meneruskan dan menyelesaikan shalat sunnahnya terlebih dulu.
  Ketiga pendapat di atas disebutkan oleh Al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah yang mengatakan:
واستدل بعموم قوله " فلا صلاة إلا المكتوبة " لمن قال يقطع النافلة إذا أقيمت الفريضة ، وبه قال أبو حامد وغيره من الشافعية ، وخص آخرون النهي بمن ينشئ النافلة عملا بعموم قوله تعالى : ولا تبطلوا أعمالكم ، وقيل يفرق بين من يخشى فوت الفريضة في الجماعة فيقطع وإلا فلا
“Makna umum yang terdapat pada sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada shalat kecuali shalat fardhu” telah menjadi dalil bagi ulama2 yang mengatakan bahwa shalat sunnah itu harus dihentikan saat shalat wajib hendak dilaksanakan. Ini merupakan pendapat Abu Hamid rahimahullah dan yang lainnya dari kalangan madzhab Syafi’iyah.
Sedangkan ulama yang lainnya mengkhususkan larangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini hanya bagi mereka yang baru akan mulai melaksanakan shalat sunnah (saat iqamat dilakukan). 
Mereka berdalil dengan ke-umum-an firman Allah : “Dan janganlah kalian batalkan amal2 kalian.” (Q.S Muhammad ayat 33).
Dikatakan pula bahwa dalam hal ini dibedakan hukumnya, yaitu antara orang yang khawatir akan ketinggalan shalat wajib berjama’ah, maka jika seperti ini ia harus menghentikan shalat sunnah-nya.
Sedangkan apabila tidak ada kekhawatiran, maka tidak mengapa ia melanjutkan shalat sunnah-nya.” 
(Fath al-Bari 2/177)

Adapun, Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah saat beliau ditanya tentang masalah ini, maka beliau rahimahullah mengatakan :
أن الإنسان إذا شرع في نافلة سواء كانت تحية المسجد أم راتبة الصلاة أم نفلا مطلقا ثم أقيمت الصلاة فإن كان في الركعة الثانية أتمها خفيفة وإن كان في الركعة الأولى قطعها بدون سلام ودخل مع الإمام دليل ذلك قول النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم (إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة) فقوله (لا صلاة إلا المكتوبة) يحتمل أن المعنى لا ابتداء صلاة إلا المكتوبة التي أقيمت لها الإقامة ويحتمل فلا صلاة ابتداءً ولا استمرارا
"Seseorang itu apabila ia melaksanakan shalat nafilah, entah itu shalat tahiyatul-masjid, shalat rawatib, atau shalat sunnah mutlak, kemudian ia mendengar iqamah dikumandangkan, maka jika saat itu ia sedang ada pada raka'at kedua, hendaknya ia menyelesaikan shalatnya dengan ringan. Tapi jika saat itu ia sedang ada di raka'at pertama, maka hendaknya ia memutuskan shalat sunnahnya dengan tanpa salam, kemudian ia segera masuk barisan shalat berjama'ah bersama imam."

Sumber : http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4112.shtml

Dan insya Allah, apa yang dikatakan oleh Syaikh al-'Utsamin rahimahullah, seperti itulah yang saya pilih untuk saat ini. Bisa dikatakan, pendapat beliau ini hampir sama dengan pendapat ke-3 yang disebutkan oleh Al-Hafizh ibnu Hajar rahimhullah di atas.


Wallaahu a'lam.

1 komentar: