Imam Al-Bukhari rahimahullah telah meriwayatkan dari haditsnya ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radhiyallaahu ‘anhu bahwa :
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي قَالَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي قَالَ قُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْنِي إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallaahu ‘anhu pernah berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ajarkanlah kepadaku suatu do’a yang dengan do’a itu aku akan berdo’a di dalam shalatku.”
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ucapkanlah :
“Alloohumma innii zhalamtu nafsii zhulman katsiiron wa laa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta. Faghfirlii maghfirotan min indika. Warhamnii, innaka antal-ghofuurur-rohiim.”
(Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Maka, ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu. Rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”)
(Shahih al-Bukhari 1/166 no.834)
Terkait dengan do’a di atas, maka ada dua hal di sini yang perlu dijelaskan, yakni tentang penjelasan kapan do’a itu dibaca di dalam shalat dan penjelasan tentang kandungan do’a.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ucapkanlah :
“Alloohumma innii zhalamtu nafsii zhulman katsiiron wa laa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta. Faghfirlii maghfirotan min indika. Warhamnii, innaka antal-ghofuurur-rohiim.”
(Artinya : “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau. Maka, ampunilah aku dengan ampunan dari-Mu. Rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”)
(Shahih al-Bukhari 1/166 no.834)
Terkait dengan do’a di atas, maka ada dua hal di sini yang perlu dijelaskan, yakni tentang penjelasan kapan do’a itu dibaca di dalam shalat dan penjelasan tentang kandungan do’a.
Pertama : Penjelasan kapan do’a itu dibaca di dalam shalat
Dikatakan bahwa do’a itu diucapkan setelah tasyahud dan sebelum salam.
Dalam hal ini, Imam Al-Bukhari rahimahullah seakan berpendapat bahwa do’a ini dibaca setelah ucapan tasyahud dan sebelum salam. Hal ini tampak saat beliau memberikan judul bab-nya dengan “Do’a Sebelum Salam.”
Dikatakan juga bahwa tidak ada ketentuan khusus kapan do’a ini dibaca di dalam shalat, sehingga seseorang itu boleh saja mengucapkannya saat ruku’, saat sujud, ataupun saat tasyahud.
Ibnu Daqiq al-‘Id rahimahullah mengatakan :
- هذا يقتضي الأمر بهذا الدعاء في الصلاة من غير تعين محله، ولعل الأولى أن يكون في أحد موطنين - السجود أو التشهد - لأنهما أمر فيهما بالدعاء
“Hal ini memberikan konsekuensi perintah untuk berdo’a dengan do’a ini di dalam shalat tanpa adanya ketentuan khusus tentang tempatnya. Mungkin yang utama adalah jika do’a ini diucapkan pada salah satu diantara dua tempat, yakni saat sujud atau saat tasyahud, sebab pada kedua tempat ini memang telah diperintahkan untuk berdo’a.”
(Fathul-Bari 2/370)
Dalam hal ini –wallaahu a’lam- bisa kita katakan bahwa seseorang itu boleh jika hanya mengucapkannya setelah membaca tasyahud (yakni sebelum salam) dan tidak di tempat lainnya, akan tetapi seseorang juga boleh memilih apakah akan mengucapkan do’a ini di dalam sujudnya, ataukah akan dia ucapkan setelah membaca tasyahud.
Kedua : Penjelasan kandungan do’a
Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallaahu ‘anhu ini merupakan do’a yang ringkas namun memiliki makna yang sangat luas dan agung.
Adapun, ketika seseorang mengucapkan di dalam do’a tersebut : “sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak”, maka ini menunjukan kerendahan diri, pengakuan seorang hamba bahwa dirinya itu tidak pernah luput dari kekurangan dan kesalahan dan adakalanya ia dapat terjerumus untuk melakukan suatu kezhaliman yang bisa saja mengakibatkan Allah murka kepadanya dan menyiksanya.
Al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :
قوله: "ظلمت نفسي" أي بملابسة ما يستوجب العقوبة أو ينقص الحظ. وفيه أن الإنسان لا يعري عن تقصير ولو كان صديقا
“Perkataan beliau : “Aku menzhalimi diriku sendiri”, yakni melakukan apa yang dapat mendatangkan hukuman ataupun mengurangi derajat. Dan di dalam hal ini terdapat sesuatu yang menunjukan bahwa seseorang itu tidaklah pernah luput dari kekurangan, meskipun seseorang itu memiliki derajat sebagai seorang shidiq.”
(Fathul-Bari 2/372)
Sedangkan tentang ucapan selanjutnya di dalam do’a : “dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”, maka di dalamnya terkandung pengakuan dari seorang hamba akan ke-Esa-an Allah dan juga permohonan seorang hamba kepada Allah agar Allah mengampuni segala ke-zhaliman dirinya.
Al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :
: قوله: "ولا يغفر الذنوب إلا أنت" فيه إقرار بالوحدانية واستجلاب للمغفرة، وهو كقوله تعالى: {والذين إذا فعلوا فاحشة أو ظلموا أنفسهم} الآية، فأثنى على المستغفرين وفي ضمن ثنائه عليهم بالاستغفار لوح بالأمر به
“Perkataan : “dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau”, maka di dalamnya terdapat pengakuan akan ke-Esa-an Allah dan permohonan ampunan kepada-Nya. Hal ini adalah seperti firman Allah ta’ala : “Dan orang2 yang apabila melakukan suatu keburukan atau menzhalimi diri sendiri”, maka Allah memuji orang2 yang memohon ampunan kepada-Nya. Kemudian, pada saat Allah memuji mereka karena istighfarnya, maka secara tidak langsung sebenarnya Allah juga memerintahkan mereka untuk ber-istighfar (kepada-Nya).”
(Fathul-Bari 2/372)
Pada akhirnya, mari kita renungkan, jika saja Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu diajarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk merendahkan diri kepada Allah dan berkata : “sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak”, sedangkan beliau adalah salah seorang yang telah dijamin masuk surga berdasarkan lisan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau jelas merupakan orang yang paling utama sesudah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka bukankah seharusnya kita lebih harus dan lebih berhak untuk mengucapkannya?
Semoga Allah senantiasa memberikan kita petunjuk dan senantiasa menjadikan kita sebagai salah seorang hamba yang senantiasa meminta ampun kepada-Nya.
Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar