Rabu, 07 September 2016

Kabut gelap Muktamar Chechnya

Beberapa hari belakangan ini, dunia Islam diramaikan dengan berita tentang Muktamar Chechnya yang dihadiri oleh sebagian ulama yang menisbatkan dirinya kepada Ahlus-Sunnah, yang datang dari berbagai belahan dunia Islam. Salah satu poin yang dihasilkan dari muktamar ini adalah : "Ahlus sunnah wal-jama'ah mereka adalah Asy'ariyyah dan Maturidiyyah dalam masalah aqidah, madzhab yang empat dalam masalah fiqh dan tasawwuf murni dalam masalah ilmu, akhlaq dan tazkiyah"

Oke, sebelum saya lanjutkan tulisan ini, saya ingin katakan dari awal bahwa saya bukanlah seorang Asy'ariyyah dan bukan pula seorang Maturidiyyah, dan saya pribadi merasa tidak terlalu peduli jika tidak dianggap sebagai seorang Ahlus-Sunnah oleh kalangan
Asy'ariyyah dan Maturidiyyah
Hanya saja, yang sedikit menggelitik adalah tentang masalah penisbatan Ahlus-Sunnah hanya kepada Asy'ariyyah dan Maturidiyyah dalam masalah 'Aqidah. Bagaimana bisa Ahlus-Sunnah kemudian dinisbatkan hanya kepada Asy'ariyyah dan Maturidiyyah, sedangkan jauh sebelum masa Asy'ariyyah dan Maturidiyyah lahir, para imam dan ulama2 salaf sendiri sudah mengenal dan menisbatkan penyebutan Ahlus-Sunnah diantara sesama mereka yang menunjukan bahwa eksistensi Ahlus-Sunnah itu sudah ada jauh sebelum adanya Asy'ariyyah dan Maturidiyyah??

Sebagai bukti, maka langsung saja kita perhatikan beberapa riwayat berikut yang menyebutkan perkataan para ulama salaf yang menisbatkan penyebutan Ahlus-Sunnah kepada orang2 di masa mereka, jauh sebelum masanya Asy'ariyyah dan Maturidiyyah….

Ibnu Sirin rahimahullah (33-110 H) mengatakan :
فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم
“Maka diperhatikanlah Ahlus-Sunnah, maka hadits mereka diterima, dan diperhatikanlah Ahlul Bid’ah maka hadits mereka ditolak.”
(Shahih Muslim 1/12)

Ayyub As-Sakhtiyani rahimahullah (66-131 H) mengatakan :
إني أخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي
“Sesungguhnya aku telah dikabari tentang wafatnya salah seorang dari kalangan Ahlus-Sunnah, maka seakan-akan aku telah kehilangan sebagian anggota tubuhku.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah 1/66)

Sufyan Ats-Tsauri (97-161 H) rahimahullah mengatakan :
استوصوا بأهل السنة خيراً فإنهم غرباء
ما أقل أهل السنة والجماعة
“Aku wasiatkan kepada kalian agar berbuat baik kepada Ahlus-Sunnah karena mereka itu orang yang dianggap asing.”
“Betapa sedikitnya Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.”
(Syarh Ushul I’tiqad Ahlis-Sunnah 1/71-72)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah (107-187 H) mengatakan :
أهل الإرجاء يقولون: الإيمان قول بلا عمل، وتقول الجهمية: الإيمان المعرفة بلا قول ولا عمل، ويقول أهل السنة: الإيمان المعرفة والقول والعمل
“Ahlul-Irja’ (Murji’ah) mengatakan : “Iman itu adalah perkataan tanpa amal perbuatan.”
Sedangkan Jahmiyah mengatakan : “Iman itu adalah ma’rifat, tanpa perkataan dan tanpa amal perbuatan.”
Adapun Ahlus-Sunnah mengatakan : “Iman itu ma’rifat, perkataan dan amal perbuatan.”
(Tahdzibul-Atsar 2/182)

Abu Ubaid al-Qasim bin Salam rahimahullah (157-224 H) mengatakan :
واختلاف الأمة في استكماله، وزيادته، ونقصانه، وتذكر أنك أحببت معرفة ما عليه أهل السنة من ذلك
“Umat telah berbeda pendapat tentang kesempurnaan iman, penambahannya dan pengurangannya, sedangkan engkau menyebutkan bahwa engkau ingin sekali mengetahui masalah iman ini menurut Ahlus-Sunnah.”
(Kitabul-Iman hal.9)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (164-241 H) mengatakan :
أحبوا أهل السنة على ما كان منهم . أماتنا الله وإياكم على السنة والجماعة
“Cintailah oleh kalian Ahlus-Sunnah atas apa yang ada pada mereka. Semoga Allah mewafatkan kami dan kalian di atas sunnah dan jama’ah.”.
(Thabaqat Al-Hanabilah 1/345)

Perhatikanlah perkataan ulama2 salaf di atas yang hidup jauh sebelum masanya Asy'ariyyah dan Maturidiyyah. Apa yang mereka katakan jelas2 menunjukan eksistensi madzhab Ahlus-Sunnah di masa mereka hidup. Lalu, bagaimana bisa kemudian sebagian orang menisbatkan Ahlus-Sunnah hanya kepada Asy'ariyyah dan Maturidiyyah saja sebagaimana salah satu poin yang ditetapkan di dalam Muktamar Chechnya??

Ini benar2 merupakan sesuatu yang mengherankan….

Padahal, bahkan Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah yang dikatakan sebagai “pendiri Asy’ariyah”, maka beliau sendiri seringkali menisbatkan sebutan Ahlus-Sunnah kepada ulama2 yang lain selain beliau, yang menunjukan bahwa yang namanya Ahlus-Sunnah itu memang merupakan suatu madzhab yang sudah eksis, baik di masa hidup beliau maupun di masa sebelum beliau.

Beliau rahimahullah pernah mengatakan di dalam kitab Maqalat Al-Islamiyin:
واختلفوا في إمامة عليّ:
     فقال قائلون: كان عليّ إماماً في أيام أبي بكر وعمر، وإن الأمر كان له بنص النبيّ صلى الله عليه وسلم،
…………………………….
: كان أبو بكر الإمام بعد النبيّ صلى الله عليه وسلم، ثم عمر، ثم عثمان، ثم عليّ، وإن الخلافة بعد النبوّة ثلاثون سنة، وهذا قول ((أهل السنّة والاستقامة
“Mereka berbeda pendapat tentang kepemimpinan ‘Ali :
Ada yang berpendapat : “’Ali adalah imam pada masa Abu Bakar dan ‘Umar, dan itu berdasarkan nash dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam…………..
Ada yang berpendapat : “Abu Bakar adalah imam setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali, dan bahwa ke-khalifahan setelah kenabian itu adalah 30 tahun.”
Maka, pendapat ini adalah pendapatnya Ahlus-Sunnah wal-Istiqamah.”
(Maqalat al-Islamiyin hal.352)

 Beliau rahimahullah juga pernah mengatakan di dalam kitab yang sama :
قال ((أهل السنّة والاستقامة)): إن للنبيّ صلى الله عليه وسلم حوضاً، يسقي منه المؤمنين، ولا يسقي منه الكافرين
“Ahlus-Sunnah wal-istiqamah mengatakan : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memiliki telaga Haudh. Orang2 mu’min akan minum dari sana, sedangkan orang2 kafir tidak akan dapat meminumnya.”
(Maqalat al-Islamiyin hal.473)

Beliau rahimahullah juga mengatakan :
وقال قائلون، وهم ((أهل السنّة والجماعة)): هو في العشرة، وهم في الجنّة
(Maqalat al-Islamiyin hal.471)

Selain itu, telah masyhur dikatakan bahwa Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah tadinya berkiblat kepada madzhab Mu’tazilah sebelum kemudian berpindah kepada madzhab Ahlus-Sunnah, maka tidak boleh tidak pastilah madzhab Ahlus-Sunnah itu memang sudah eksis sebelum masa Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah dan masih tetap eksis di masa hidup beliau, sebab tidak mungkin beliau dikatakan berpindah kepada madzhab Ahlus-Sunnah, jika yang namanya Ahlus-Sunnah sendiri saat itu belum eksis.

Lalu, bagaimana bisa Ahlus-Sunnah kemudian dinisbatkan hanya kepada Asy'ariyyah dan Maturidiyyah yang muncul setelah Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah??
Bagaimana…..bisa??

Saya pribadi benar2 merasa heran.

Walhasil, bisa dikatakan bahwa apa yang dihasilkan dari muktamar Chechnya (khususnya poin yang disinggung di sini) hanyalah menjadikan manusia semakin tidak mengetahui tentang apa dan siapa itu Ahlus-Sunnah, dan menjadikan manusia semakin tidak mengetahui tentang tentang apa dan seperti apa 'Aqidah yang benar di dalam agama Allah ini.
  
Dengan katak lain, tidak ada yang dihasilkan oleh muktamar itu melainkan hanyalah kesamaran, dan mereka telah menjadikan jalan yang terang yang dahulu ditempuh oleh para imam dan ulama2 Ahlus-Sunnah dari kalangan salaf, menjadi gelap dan berkabut. 
Allaahul-musta'an. 

Baca juga :

2 komentar:

  1. Dan Anda pun samar apakah ahlu Sunnah tau Syiah atau saliyah..
    Mereka jelas mengklaim dgn manhaj yg disarikan dari amalan dan aqidah ulama2 salaf yg bersambung kod sahabat dan Rasulullah.. dibuatlah istilah "ahli Sunnah Wal jama'ah" dan merekalah yg meletakkan dasar2 pemikiran itu..
    Sedangkan Anda .. ana gak jelas dari awal (remang2) dan meremang2kan orang lain..

    Wallahu musta'an

    BalasHapus