Senin, 28 September 2015

Selamat tinggal Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah, dan selamat tinggal Ulama2 Salaf


Siang tadi, saya membaca satu berita mengejutkan yang datang dari Aceh, suatu daerah yang dikenal dengan julukan Serambi Mekah. Berita yang terkait dengan adanya suatu acara yang disebut dengan “Parade Aswaja” yang diadakan sekitar 2 pekan yang lalu oleh sebagian kaum Muslimin di Aceh sana. 

Adapun yang mengejutkan saya bukanlah tentang acaranya, bukan pula tentang siapa yang mengadakannya, akan tetapi yang mengejutkan adalah tentang satu dari 13 tuntutan yang diajukan oleh mereka dalam acara tersebut.

Salah satu isi tuntutan yang sangat luar biasa aneh tersebut adalah :
“Meminta kepada Pemerintahan Aceh untuk mencabut izin operasional dan tidak memberikan izin pendirian sekolah dan lembaga pendidikan Islam lainnya di Aceh yang bertentangan dengan madzhab Syafi’i dan bertentangan dengan ‘Aqidah ahlus-sunnah wal-jamaah (Asy’ariyyah dan Matudiriyyah).”

Videonya bisa dilihat di : https://www.youtube.com/watch?v=gXAkStv5Mlw
Lihat di menit ke 3 detik ke 35 dan seterusnya.

Dalam video tersebut, kalimatnya terpotong dan hanya ada bagian : “………….lembaga pendidikan Islam lainnya di Aceh yang bertentangan dengan madzhab Syafi’i dan bertentangan dengan ‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jamaah (Asy’ariyyah dan Matudiriyyah).”

Sedangkan mengenai kalimat selengkapnya, dapat kita lihat di http://suara-nu.com/?p=525 .
Berikut screenshotnya (klik untuk memperbesar gambar dan lihat point no.5) :

 













Perhatikanlah tuntutannya....
Mereka menginginkan agar lembaga2 pendidikan dan sekolah2 yang bertentangan dengan madzhab Syafi'i (dalam Fiqih) dan madzhab Maturidiyah dan Asy'ariyah (dalam 'Aqidah) untuk dicabut izin operasionalnya, dan tidak lagi diberikan izin untuk mendirikan kembali lembaga2 pendidikan dan sekolah2 yang semisal.

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Sungguh, ini benar2 berita yang mengejutkan. Tidak hanya mengejutkan, tapi sekaligus juga luar biasa anehnya…..
Apa yang mereka inginkan sebenarnya?
Apakah mereka menginginkan agar umat Islam di Indonesia ini hanya menganut satu madzhab, yakni Syafi’iyyah saja dan meng-eliminasi 3 madzhab lainnya??
Jika ya, maka ini benar2 musibah yang besar.
Bagaimana tidak, mereka mengaku sebagai Ahlus-Sunnah tapi pada saat bersamaan seakan hendak mengingkari keberadaan 3 madzhab lain yang berbeda dengan Madzhab Syafi’i.

Padahal, jika mereka memang benar Ahlus-Sunnah, maka seharusnya mereka mengetahui bahwa selain Madzhab Syafi’i, maka di sana ada madzhab Hanbali, Maliki dan Hanafi yang diakui oleh ulama2 pendahulu mereka.
KH. Hasyim Asy’ari rahimahullah pernah berkata :
أما أهل السنة فهم أهل التفسير والحديث والفقه، فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى الله عليه وسلم والخلفاء بعده الراشدين، وهم الطائفة الناجية، قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب أربعة الحنفيون والشافعيون والمالكيون والحنبليون، ومن كان خارجا عن هذه الأربعة في هذا الزمان فهو من المبتدعة
“Adapun Ahlus-sunnah, maka mereka adalah para Ahli Tafsir, Ahli Hadits dan Ahli Fiqih. Maka, mereka adalah golongan yang mendapat petunjuk dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifah yang mendapat petunjuk setelah wafatnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah ‘kelompok yang selamat’.
Para ulama berkata : “Pada saat ini, kelompok yang selamat itu terhimpun dalam mazhab yang empat, yaitu Hanafiyah, Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Maka siapa saja di masa sekarang yang keluar dari empat mazhab itu, dia adalah ahlul bid’ah.”
(Ziyadatu-Ta’liqat hal. 24-25)

Kemudian….
Jika mereka katakan tentang madzhab Syafi’i, maka sebenarnya madzhab Syafi’i manakah yang mereka inginkan?
Apakah madzhabnya imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam Fiqih, ataukah madzhabnya ulama-ulama Syafi’iyyah dalam masalah2 Fiqih??

Kalaulah yang mereka maksud adalah madzhabnya imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam Fiqih, maka tidakkah sebaiknya mereka memperhatikan diri mereka sendiri terlebih dahulu dan menghitung berapa banyak perbuatan mereka yang bertentangan dengan Fiqihnya imam Asy-Syafi’i rahimahullah.
Jika kriteria pertama ini yang hendak dijadikan rujukan, maka saya khawatir bahwa seharusnya lembaga pendidikan yang mereka dirikan sendirilah yang pertama kali harus dicabut izin operasionalnya dan tidak diberikan izin lagi untuk mendirikan lembaga baru karena banyak yang bertentangan dengan Fiqihnya imam Asy’Syafi’i rahimahullah.

Dan jika yang mereka maksud adalah madzhabnya ulama2 Syafi’iyyah dalam Fiqih, maka tidakkah mereka mengetahui betapa banyaknya perbedaan dan pertentangan pendapat dari ulama2 Syafi’iyyah tersebut dalam berbagai masalah Fiqih ??
Lalu, ulama Syafi’iyyah yang manakah yang hendak dijadikan acuan??

Misalnya, dalam masalah kiriman pahala bacaan Al-Quran, maka imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pahalanya tidak akan sampai kepada mayit, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah lainnya mengatakan sampai.
Imam An-Nawari rahimahullah mengatakan :
وأما قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت
“Adapun bacaan al-Quran, maka pendapat yang masyhur dalam madzhabnya imam As-Syafi’I rahimahullah, bahwa pahalanya tidak akan sampai kepada mayit. Sedangkan sebagian sahabat kami mengatakan bahwa pahalanya sampai kepada mayit.”
(Al-Minhaj, 1/90)

Nah, yang manakah yang mau dijadikan acuan yang pasti dan dikatakan sebagai "Madzhab Syafi'i" yang asli? Pendapat Imam Asy’Syafi’i rahimahullah ataukah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah??
Lalu, yang manakah yang dikatakan bertentangan dengan madzhab Syafi’i? Pendapatnya Imam Asy’Syafi’i rahimahullah ataukah pendapatnya sebagian ulama Syafi’iyyah??

Kemudian….
Saat mereka mengatakan : “‘Aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jamaah (Asy’ariyyah dan Matudiriyyah).”
Maka, bagaimana bisa, setelah jelas bahwa dalam beberapa masalah, bahkan Asy’ariyyah dan Matudiriyyah itu sendiri saling bertentangan??
Apakah mereka hendak menjadikan dua madzhab ‘Aqidah tersebut sebagai pegangan, sedangkan keduanya saling bertentangan dalam sebagian masalah ‘Aqidah??

Misalnya, lihatlah perkataan imam Abul-Hasan Al-Asy’ari rahimahullah :
أن الله سبحانه على عرشه، كما قال: {الرحمن على العرش استوى}
“Bahwasannya Allah yang Maha Suci itu di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya: “Yang Maha Pengasih yang istiwa di atas ‘Arsy.”
(Al-Maqalat hal.291)

Sedangkan dalam masalah ini, ulama2 Maturidiyah malah berbeda dengan imam Abul-hasan Al-Asy’ari rahimahullah??
Lalu, yang manakah yang mau dijadikan pegangan yang pasti? Imam Abul-Hasan Al-Asy'ari atau Matudiriyyah??
Jika mereka mengatakan : "Kami berpegangan kepada keduanya.", maka itu sama saja menjadikan "benar dan salah" sebagai pegangan.
Bagaimana bisa??

Kemudian juga, apakah benar bahwa ‘Aqidah Ahlus-Sunnah itu memang diwakili oleh Asy’ariyyah dan Matudiriyyah??
Jika benar, lalu, di manakah ‘Aqidahnya ulama2 yang hidup sebelum lahirnya Asy’ariyyah dan Matudiriyyah, dan seperti apa ‘Aqidah mereka?
Di manakah ‘Aqidahnya imam Asy’Syafi’i rahimahullah, imam Malik rahimahullah, imam Ahmad rahimahullah, dan imam Abu Hanifah rahimahullah??
Di manakah ‘Aqidahnya ulama2 yang hidup sebelum imam Asy’Syafi’i rahimahullah, imam Malik rahimahullah, imam Ahmad rahimahullah, dan imam Abu Hanifah rahimahullah??
Di manakah ‘Aqidahnya ulama2 yang menjadi murid langsung dari imam Asy’Syafi’i rahimahullah, imam Malik rahimahullah, imam Ahmad rahimahullah, dan imam Abu Hanifah rahimahullah??
Apakah mereka semua bukan Ahlus-Sunnah??

Apakah orang2 yang mengikuti parade itu hendak meninggalkan ‘Aqidahnya ibnu Khuzaimah asy-Syafi’i rahimahullah yang jelas2 seorang ulama Ahlus-Sunnah dan merupakan cucu muridnya imam Asy-Syafi’I rahimahullah??
Apakah orang2 yang mengikuti parade itu hendak meninggalkan ‘Aqidahnya Qutaibah bin Sa’id rahimahullah yang jelas2 seorang ulama Ahlus-Sunnah dan merupakan muridnya imam Malik rahimahullah??

Dalam masalah keberadaan Allah, tidakkah orang2 itu tahu bahwa ibnu Khuzaimah asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan :
علا ربنا فكان فوق سبع سمواتة عاليا؛ ثم على عرشه استوى؛ يعلم السر واخفى؛ ويسمع الكلام والنجوى؛ لا يخفى عليه خافية في الأرض ولا في السماء؛ ولا في لجج البحار؛ ولا في الهواء
"Maha Tinggi Rabb kami, dan Dia ada di atas tujuh langit-Nya, kemudian di atas 'Arsy-Nya Dia istawa. Dia mengetahui apa2 yang sirr dan tersembunyi. Dia mendengar segala perkataan dan bisikan, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya di bumi, tidak juga di langit, tidak di dalamnya laut, dan tidak juga di udara."
(Kitabut-Tauhid 1/109)

Tidakkah orang2 itu tahu bahwa Qutaibah bin Sa’id rahimahullah pernah mengatakan :
هذا قول الأئمة المأخوذ في الإسلام والسنة :
“Ini adalah perkataan para imam yang diambil di dalam Islam dan sunnah yaitu :
…………………………………………………………………
ويعرف الله في السماء السابعة على عرشه كما قال : ( الرحمن على العرش استوى ، له ما في السموات وما في الأرض وما بينهما وما تحت الثرى
“Mengetahui Allah itu ada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Dia firmankan : “Arrahmaanu ‘alal-‘Arsys-tawaa, lahuu maa fis-samaawati wa maa fil-‘Ardi wa maa bainahumaa wa maa tahtats-tsaraa”
(Syi’ar Ash-hab Al-Hadits 1/17)

Dengan jelas, dua ulama yang hidup sebelum masa Asy’ariyah dan Maturidiyah itu mengatakan bahwa Allah itu ada di atas ‘Arsy-nya, sedangkan sebagian dari mereka malah meyakini hal yang bertentangan dengan keduanya dan mungkin meyakini bahwa Allah itu ada di atas, sekaligus ada di bawah, di kiri, di kanan, dan di mana2 ?? 
Atau sebagian dari mereka mungkin meyakini bahwa Allah itu tidak di mana2, tidak di kiri, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, dan tidak di mana2???

Ah...
Apakah orang2 yang mengikuti parade itu hendak meninggalkan ‘Aqidahnya ulama2 yang hidup sebelum era Asy’ariyah dan Maturidiyah??
Apakah orang2 yang mengikuti parade itu dalam ‘Aqidahnya lebih memilih untuk berpegang kepada dua madzhab yang pada kenyataannya bahkan saling bertentangan dalam beberapa permasalahan?? 

Pada akhirnya....
Jika saja tuntutan orang2 yang mengikuti parade itu dikabulkan -dan semoga tidak-, maka sepertinya sebagian kaum Muslimin di Indonesia ini harus bersiap untuk segera mengucapkan : "Selamat Tinggal Hanabilah, Hanafiyah dan Malikiyah." dalam masalah Fiqih, dan dalam masalah 'Aqidah harus bersiap pula untuk segera mengucapkan : "Selamat tinggal ulama2 salaf."
 
Allaahul-musta’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar